Hiruk pikuk pilgub DKI
mengalihkan perhatian bagi para mata yang memandang menuju Jakarta Satu. Hal
ini merupakan pesta demokrasi yang memiliki berjuta harapan bagi para
calon-calon pemimpin yang siap “beresin Jakarta”.
Manuver politik dari para calon kini kian memanas. Membusungkan dada dan
berlenggak-lenggok bak model pemimpin yang sudah berkuasa, mencari perhatian
bahkan belas kasihan. Ah, itu sebuah strategi saja bagi para calon. Banyak masalah
yang akan dihadapi para pemimpin yang duduk dikursi betawi satu alias
Daerah Konflik Indonesia. Ya, berjuta
konflik bangsa ini bisa jadi sangat menumpuk untuk segera diselesaikan. Banjir
sudah biasa, penganguran jadi perampok atau pengimis sudah bisa hidup dijakarta
bahkan jadi kolongjembatan (tempat
penginap para tuna wisma).
Pilpres tidak kalah menarik
selain pilgub, Baliho besar terpampang pingir jalanan. “…..Calon Presiden Rakyat Indonesia” dengan jargon "Suara partai, Suara Rakyat juga koq”. Ah, Itupun sebuah pencitraan para pencari Image dimata rakyat. Kita
dapat melihat bagaimana respon natural Nabi sulaiman terhadap perintah Ratu
Semut pada rakyatnya (Q.S An-Naml (27:18)!.
“ Maka dia (sulaiman tersenyum dengan tertawa karena (mendengar)
perkataan semut itu….”(Q.S An-Naml (27:19). Tidak mau kalah juga para
pejabat PNS di daerah jawa timur tak mau kalah mencari sebuah pencitraan dengan
gaya jas mentereng, rambut klimis tapi tak berkumis. Apakah
bangsa ini suka dengan pencitraan dibandingkan sebuah naturalitas yang
berorientasi pada kualitas diri untuk memimpin diri dan memimpin bangsa
ini?kisah Nabi sulaiman menggambarkan bahwa ini adalah refleks seorang pemimpin
yang tidah membutuhkan pencitraan. Dia tersenyum dan tertawa lepas tanpa beban. Bisa kita bayangkan
seorang pemimpin besar saat melakukan perjalanan dengan armada besarnya
kemudian melihat percakapan seorang ratu semut sedang berdialog dengan kaumnya.
Bisa diduga bahwa orang lain akan tertegun memperhatikan perilaku Nabi Sulaiman
yang mengamati interaksi binatang kecil itu. Tiba-tiba Nabi Sulaiman tertawa
lepas. Lalu Nabipun berdoa:
“ Rabbku, ilhamkanlah kepadaku untuk mensyukuri kenikmatan yang telah
engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku beramal
shaleh yang engkau ridhai, dan masukkanlah aku atas rahmatMu kedalam golongan
hamba-hambamMu yang shaleh (Q.S An-Naml (27:19).
Naturalitas itu sangat penting
bagi seorang pemimpin. Dia tampil menjadi pemimpin apa adanya dan sangat
menikmati keunikan darinya tidak terbebani oleh penilaian orang lain atau
bawahannya. Ia tampil sebagai orang yang bersyukur atas keunikan yang diberikan
Allah kepadanya. Karena itu sebuah ongkos naturalitas ini jauh lebih murah
ketimbang sebuah pencitraan yang zaman sekarang begitu massif dilakukan para
pemimpin yang tidak sejati.
Kesejatian pemimpin terletak
pada keasliaanya yang natural, bukan image yang dipaksakan kepada kepala orang
lain. Kesejatian itu murah sedangkan pencitraan itu mahal dan dramatis. “Gue apa adanya, yang lain bersandiwara”
mungkin kata ini lebih tepat untuk seorang pemimpin sejati. Pencari Imagologi
(pencitraan) ini akan terlihat dari segi kinerja atau bahkan kualtias dari
kesejatiaan seorang pemimpin. Para pemimpin sejati tampil sebagai manusia
seutuhnya. Sedangkan para pemimpin rekaan tampil kaku dan penuh pertimbangan
atas penilaian orang lain. Kesejatianlah yang kelak akan didukung orang, bukan
orang mendukung karena sebuah pencitraan. Karena kesejatian lawanya adalah
kepalsuan. Pemimpin sejati sangat memahami
arti kekuasaan sesungguhnya.
Kekuasaan untuk kesejahteraan rakyatnya. Sedangkan pemimpin yang palsu dianggap
dirinya berkuasa tapi sesungguhnya disetir oleh para industri imagologi yang
mencari untung besar hingga kesejahteraan itu mengalir disekitar penguasa dan
tidak sampai kepada rakyatnya. Yang sampai pada rakyatnya adalah image, bukan
kesejahteraan yang sejati.
Kisah Nabi Sulaiman akan menjadi
cermin para calon-calon pemimpin bangsa ini, sebagaiman mestinya seorang
pemimpin mensejahterahkan rakyatnya dengan naturalitas nya bukan karena
pencitraan dirinya saja. Rakyat akan merasakan kesejahteraan dari pemimpinnya.
Disisi lain, ayat tentang tersenyum dan tertawa ini menarik jika dielaborasi
lebih lanjut. Ekspresi senyum dan tertawa adalah dari fungsi aktivitas otak kanan. Otak kanan memiliki
peran yang lebih ringan, kreatif, inovatif.
Menjadi pemimpin sejati, ia harus
mampu mengkombinasikan kecerdasan yang dimiliki oleh otak kanan dan otak
kirinya. Bukan berjalan tidak seimbang.kedua belahan ini akan berjalan selaras
dengan apa yang dilakukan seorang pemimpin. Kita refleksikan kisah Nabi
Sulaiman dari pesta demokrasi yang saat ini kursi kekuasaan diperebutkan oleh
para pemimpin yang naturalitas atau para pemimipin imagologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar