Senin, 30 April 2012

Sebuah Naturalitas bukan Sekedar Pencitraan

Hiruk pikuk pilgub DKI mengalihkan perhatian bagi para mata yang memandang menuju Jakarta Satu. Hal ini merupakan pesta demokrasi yang memiliki berjuta harapan bagi para calon-calon pemimpin yang siap “beresin Jakarta”. Manuver politik dari para calon kini kian memanas. Membusungkan dada dan berlenggak-lenggok bak model pemimpin yang sudah berkuasa, mencari perhatian bahkan belas kasihan. Ah, itu sebuah strategi saja bagi para calon. Banyak masalah yang akan dihadapi para pemimpin yang duduk dikursi betawi satu alias Daerah  Konflik Indonesia. Ya, berjuta konflik bangsa ini bisa jadi sangat menumpuk untuk segera diselesaikan. Banjir sudah biasa, penganguran jadi perampok atau pengimis sudah bisa hidup dijakarta bahkan jadi kolongjembatan (tempat penginap para tuna wisma).


Pilpres tidak kalah menarik selain pilgub, Baliho besar terpampang pingir jalanan. “…..Calon Presiden Rakyat Indonesia” dengan jargon "Suara partai, Suara Rakyat juga koq”. Ah, Itupun sebuah pencitraan para pencari Image dimata rakyat. Kita dapat melihat bagaimana respon natural Nabi sulaiman terhadap perintah Ratu Semut pada rakyatnya (Q.S An-Naml (27:18)!.

“ Maka dia (sulaiman tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu….”(Q.S An-Naml (27:19). Tidak mau kalah juga para pejabat PNS di daerah jawa timur tak mau kalah mencari sebuah pencitraan dengan gaya jas mentereng, rambut klimis tapi tak berkumis. Apakah bangsa ini suka dengan pencitraan dibandingkan sebuah naturalitas yang berorientasi pada kualitas diri untuk memimpin diri dan memimpin bangsa ini?kisah Nabi sulaiman menggambarkan bahwa ini adalah refleks seorang pemimpin yang tidah membutuhkan pencitraan. Dia tersenyum dan tertawa  lepas tanpa beban. Bisa kita bayangkan seorang pemimpin besar saat melakukan perjalanan dengan armada besarnya kemudian melihat percakapan seorang ratu semut sedang berdialog dengan kaumnya. Bisa diduga bahwa orang lain akan tertegun memperhatikan perilaku Nabi Sulaiman yang mengamati interaksi binatang kecil itu. Tiba-tiba Nabi Sulaiman tertawa lepas. Lalu Nabipun berdoa:

“ Rabbku, ilhamkanlah kepadaku untuk mensyukuri kenikmatan yang telah engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku beramal shaleh yang engkau ridhai, dan masukkanlah aku atas rahmatMu kedalam golongan hamba-hambamMu yang shaleh (Q.S An-Naml (27:19).

Naturalitas itu sangat penting bagi seorang pemimpin. Dia tampil menjadi pemimpin apa adanya dan sangat menikmati keunikan darinya tidak terbebani oleh penilaian orang lain atau bawahannya. Ia tampil sebagai orang yang bersyukur atas keunikan yang diberikan Allah kepadanya. Karena itu sebuah ongkos naturalitas ini jauh lebih murah ketimbang sebuah pencitraan yang zaman sekarang begitu massif dilakukan para pemimpin yang tidak sejati.

Kesejatian pemimpin terletak pada keasliaanya yang natural, bukan image yang dipaksakan kepada kepala orang lain. Kesejatian itu murah sedangkan pencitraan itu mahal dan dramatis. “Gue apa adanya, yang lain bersandiwara” mungkin kata ini lebih tepat untuk seorang pemimpin sejati. Pencari Imagologi (pencitraan) ini akan terlihat dari segi kinerja atau bahkan kualtias dari kesejatiaan seorang pemimpin. Para pemimpin sejati tampil sebagai manusia seutuhnya. Sedangkan para pemimpin rekaan tampil kaku dan penuh pertimbangan atas penilaian orang lain. Kesejatianlah yang kelak akan didukung orang, bukan orang mendukung karena sebuah pencitraan. Karena kesejatian lawanya adalah kepalsuan. Pemimpin sejati sangat memahami  arti kekuasaan  sesungguhnya. Kekuasaan untuk kesejahteraan rakyatnya. Sedangkan pemimpin yang palsu dianggap dirinya berkuasa tapi sesungguhnya disetir oleh para industri imagologi yang mencari untung besar hingga kesejahteraan itu mengalir disekitar penguasa dan tidak sampai kepada rakyatnya. Yang sampai pada rakyatnya adalah image, bukan kesejahteraan yang sejati.

Kisah Nabi Sulaiman akan menjadi cermin para calon-calon pemimpin bangsa ini, sebagaiman mestinya seorang pemimpin mensejahterahkan rakyatnya dengan naturalitas nya bukan karena pencitraan dirinya saja. Rakyat akan merasakan kesejahteraan dari pemimpinnya. Disisi lain, ayat tentang tersenyum dan tertawa ini menarik jika dielaborasi lebih lanjut. Ekspresi senyum dan tertawa adalah dari fungsi  aktivitas otak kanan. Otak kanan memiliki peran yang lebih ringan, kreatif, inovatif.

Menjadi pemimpin sejati, ia harus mampu mengkombinasikan kecerdasan yang dimiliki oleh otak kanan dan otak kirinya. Bukan berjalan tidak seimbang.kedua belahan ini akan berjalan selaras dengan apa yang dilakukan seorang pemimpin. Kita refleksikan kisah Nabi Sulaiman dari pesta demokrasi yang saat ini kursi kekuasaan diperebutkan oleh para pemimpin yang naturalitas atau para pemimipin imagologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar