Kebanyakan orang yang menjadikan Kartini sebagai ikon perjuangan
perempuan Indonesia, tak melihat sisi lain dari pemikirannya yang sangat
berbau Theosofi dan kebatinan. Padahal, banyak tokoh wanita lain yang
hidup semasa dengannya, yang berjuang secara nyata dalam dunia
pendidikan, bukan dalam wacana surat menyurat seperti yang dilakukan
Kartini.
Tanggal 21 April dikenal sebagai Hari Kartini. Hampir semua perempuan
di Indonesia, termasuk kaum muslimah, yang ikut-ikutan memperingati
hari tersebut tanpa mengetahui latar belakang sejarahnya yang jelas.
Siapa sesungguhnya Kartini? Siapa orang-orang yang mempengaruhinya?
Bagaimana corak pemikirannya?
Peringatan Hari Kartini sering diikuti beragam acara yang
mengedepankan emansipasi perempuan, kesetaraan gender, perjuangan
feminisme, dan lain-lain. Kartini, dianggap sebagai ikon bagi
perjuangan perempuan dalam persoalan tersebut. Kartini sering disebut
sebagai ikon pendobrak bagi kemajuan perempuan Indonesia dan diakui
secara resmi oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional dengan Keputusan
Presiden (Keppres) RI No. 108 tahun 1964.
Kartini lahir di desa Mayong, sebelah barat Kota Kudus, Kabupaten
Jepara. Sebagai anak seorang bupati, Kartini hidup dalam keluarga yang
berkecukupan. Saat kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elit orang-orang
Eropa, Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Di sekolah
ini, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa.
Sebagai keluarga priyayi Jawa, kultur mistis dan kebatinan begitu
melekat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun bagi Kartini, ikatan adat
istiadat yang telah berurat akar dalam itu, dianggap mengekangnya
sebagai perempuan. Setelah tamat dari sekolah ELS Kartini memasuki masa
pingitan. Sementara itu, Kartini merasakan betul betapa haknya
mendapatkan pendidikan secara utuh dibatasi. Di luar, ia melihat
pendidikan Barat-Eropa begitu maju.
Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang
Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny
Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye
untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita
kelahiran Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini adalah, H. H Van Kol (Orang
yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di
Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai Radikal Demokrat
Belanda), K. F Holle (Seorang Humanis), dan Christian Snouck Hurgronye
(Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Hindia
Belanda), dan Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil
Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi
pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai
pejuang feminisme, Estella juga aktif sebagai anggota Social
Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Kartini berkorespondensi dengan Stella sejak 25 Mei 1899. Dengan
perantara iklan yang di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda,
Kartini berkenalan dengan Stella. Kemudian melalui surat menyurat,
Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama
mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.
Dalam sebuah suratnya kepada Ny Nellie Van Koll pada 28 Juni 1902,
Stella mengakui sebagai seorang Yahudi dan mengatakan antara dirinya dan
Kartini mempunyai kesamaan pemikiran tentang Tuhan. Stella
mengatakan,”Kartini dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan saya
dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Meskipun demikian, kami mempunyai
pikiran yang sama tentang Tuhan. ”
Dr Th Sumarna dalam bukunya ”Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin
Kartini” menyatakan ada surat-surat Kartini yang tak diterbitkan oleh
Ny. Abendanon Mandri, terutama surat-surat yang berkaitan dengan
pengalaman batin Kartini dalam dunia okultisme (kebatinan dan mistis).
Entah dengan alasan apa, surat-surat tersebut tak diterbitkan. Ny
Abendanon hanya menerbitkan kumpulan surat Kartini yang diberi judul
”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang). Keterangan
mengenai kepercayaan Kartini terhadap okultisme hanya didapat dari
surat-suratnya yang ditujukan kepada Stella dan keluarga Van Kol.
Seperti diketahui, okultisme banyak diajarkan oleh jaringan Freemasonry
dan Theosofi, sebagai bagian dari ritual perkumpulan mereka.
Nama-nama lain yang menjadi teman berkorespondensi Kartini adalah
Tuan H. H Van Kol, Ny Nellie Van Kol, Ny M. C. E Ovink Soer, E. C
Abendanon (anak J. H Abendanon), dan Dr N Adriani (orang Jerman yang
diduga kuat sebagai evangelis di Sulawesi Utara). Kepada Kartini, Ny
Van Kol banyak mengajarkan tentang Bibel, sedangkan kepada Dr N
Adriani, Kartini banyak mengeritik soal zending Kristen, meskipun dalam
pandangan Kartini semua agama sama saja.
Apakah korespondensi Kartini dengan para keturunan Yahudi penganut
humanisme, yang juga diduga kuat sebagai aktivis jaringan
Theosofi-Freemasonry, berperang penting dalam memengaruhi pemikiran
Kartini? Ridwan Saidi dalam buku Fakta dan Data Yahudi di Indonesia
menyebutkan, sebagai orang yang berasal dari keturunan priayi atau elit
Jawa dan mempunyai bakat yang besar dalam pendidikan, maka Kartini
menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak
digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu.
Dalam catatan Ridwan Saidi, orang-orang Belanda gagal mengajak
Kartini berangkat studi ke negeri Belanda. Karena gagal, maka mereka
menyusupkan ke dalam kehidupan Kartini seorang gadis kader Zionis
bernama Josephine Hartseen. Hartseen, menurut Ridwan adalah nama
keluarga Yahudi.
Siapa yang berperan penting merekatkan hubungan Kartini dengan para
elit Belanda? Adalah Christian Snouck Hurgronje orang yang mendorong
J.H Abendanon agar memberikan perhatian lebih kepada Kartini
bersaudara. Hurgronje adalah sahabat Abendanon yang dianggap oleh
Kartini mengerti soal-soal hukum agama Islam. Atas saran Hurgronje agar
Abendanon memperhatikan Kartini bersaudara, sampailah pertemuan antara
Abendanon dan Kartini di Jepara.
Sebagai seorang orientalis, aktivis Gerakan Politik Etis, dan
penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh
perhatian kepada kepada anak-anak dari keluarga priyayi Jawa lainnya.
Hurgronje berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka untuk
mengikuti sistem pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan
lancar.
Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan
Freemasonry lewat lembaga ”Dienaren van Indie” (Abdi Hindia) di Batavia
yang menjaring anak-anak muda yang mempunyai bakat dan minat untuk
memperoleh beasiswa. Kader-kader dari ”Dienaren van Indie” kemudian
banyak yang menjadi anggota Theosofi dan Freemasonry.
Pengaruh Theosofi dalam Pemikiran Kartini
Surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon, orang yang dianggap
satu-satunya sosok yang boleh tahu soal kehidupan batinnya, dan
surat-surat Kartini lainya para humanis Eropa keturunan Yahudi di era
1900-an sangat kental nuansa Theosofinya. Seperti ditulis dalam
surat-suratnya, Kartini mengakui ada orang yang mengatakan bahwa dirinya
tanpa sadar sudah masuk kedalam alam pemikiran Theosofi.
Bahkan, Kartini mengaku diperkenalkan kepada kepercayaan dengan
ritual-ritual memanggil roh, seperti yang dilakukan oleh kelompok
Theosofi. Selain itu, semangat pemikiran dan perjuangan Kartini juga
sama sebangun dengan apa yang menjadi pemikiran kelompok Theosofi.
Inilah yang kemudian, banyak para humanis yang menjadi sahabat karib
Kartini begitu tertarik kepada sosok perempuan ini.
Kartini juga kerap mendapat kiriman buku-buku dari Ny Abendanon, yang
di antaranya buku tentang humanisme, paham yang juga lekat dengan
Theosofi dan Freemasonry. Diantara buku-buku yang dibaca Kartini
adalah, Karaktervorming der Vrouw (Pembentukan Akhlak Perempuan) karya
Helena Mercier, Modern Maagden (Gadis Modern) karya Marcel Prevost, De
Vrouwen an Socialisme (Wanita dan Sosialisme) karya August Bebel dan
Berthold Meryan karya seorang sosialis bernama Cornelie Huygens.
Berikut surat-surat Kartini yang sangat kental dengan doktrin-doktrin Theosofi:
”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni. ” (Surat kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902).
”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni. ” (Surat kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902).
”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam,
dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak
lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan, adalah
bunyi tanpa makna…” (Surat Kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk
baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain” (Surat 31 Januari
1903).
”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah
kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih,
Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan
lain-lain.” (Surat kepada E. C Abendanon, 31 Januari 1903).
”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan
kita. Tuhan kita semua.” (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902).
”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya
menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi
kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya
Allah.” (Surat kepada Dr N Adriani, 24 September 1902).
Mengenai keterkaitan dan hubungannya dengan Theosofi, Kartini mengatakan:
”Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami
mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan
mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain
yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri,
kami adalah penganut Theosofi.” (Surat Kepada Ny Abendanon, 24 Agustus
1902).
Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi,
yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar
banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kepada Nyonya Abendanon, 15
September 1902).
Sebagai orang Jawa yang hidup di dalam lingkungan kebatinan, gambaran
Kartini tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga sama: manunggaling
kawula gusti. Karena itu, dalam surat-suratnya, Kartini menulis Tuhan
dengan sebutan ”Bapak”. Selain itu, Kartini juga menyebut Tuhan dengan
istilah ”Kebenaran”, ”Kebaikan”, ”Hati Nurani”, dan ”Cahaya”, seperti
tercermin dalam surat-suratnya berikut ini:
”Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani.
Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan
melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.” (Surat kepada
E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Kebaikan dan Tuhan adalah satu.” (Surat kepada Ny Nellie Van Kol, 20 Agustus 1902).
Alam spiritual Kartini tak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan akan
mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat. Inilah yang
oleh kelompok Theosofi disebut sebagai upaya menyatukan antara ”Timur
dan Barat”. Sebuah upaya yang banyak memikat para elit Jawa, terutama
mereka yang sudah terbaratkan secara pemikiran.
Siti Soemandari, penulis biografi Kartini mengatakan, dalam beragama,
Kartini kembali kepada akar-akar kejawennya atau apa yang disebut
dengan ngelmu kejawen. Soemandari mempertegas, kepercayaan Kartini
adalah gabungan antara iman Islam dan Kejawen. Atau dalam bahasa lain,
keyakinan agama atau kepercayaan Kartini adalah sinkretisme yang
berlandaskan pada pluralisme agama.
Belakangan, jaringan Theosofi di Indonesia juga mendirikan Kartini
School (Sekolah Kartini) yang mulanya didirikan di Bandung oleh seorang
Teosof bernama R. Musa dan kemudian menyebar di berabagai daerah di
Jawa. Tercatat ada beberapa daerah yang berdiri Sekolah Kartini, yaitu
Jatinegara (Jakarta), Semarang, Bogor, Madiun (1914), Cirebon, Malang
(1916), dan Indramayu (1918).
Sebagai sekolah yang dikelola oleh para Teosof, ajaran tentang
kebatinan, sinkretisme–atau sekarang lebih populer dengan istilah
pluralisme– juga tentang pembentukan watak dan kepribadian, lebih
menonjol dalam pelajaran di sekolah-sekolah tersebut. Sekolah lain yang
didirikan di berbagai daerah oleh kelompok Theosofi adalah Arjuna
School, dengan muatan nilai-nilai pendidikan yang sama dengan Kartini
School.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar