Minggu, 22 April 2012

Integrasi Demokrasi dalam Nilai-nilai Keislaman

Islam dan demokrasi sering diposisikan secara berhadap-hadapan dan saling menafikan. Banyak pemikir Muslim dan intelektual menafsirkan diri mereka dengan “kualitas demokrasi”, bukan melalui praktik konkret dari praktik-praktik demokrasi, namun semata-mata karena oposisi nominal terhadap para Islamis. Di satu sisi, beberapa kalangan Muslim menolak kata “demokrasi” , karena merupakan bagian dari sejarah barat dan “tidak terdapat dalam Al-Qur’an”.

Kerumitan persoalan semakin mengemuka ketika entitas sebagai sesuatu yang universal harus dijewantahkan dalam keseluruhan dimensi kehidupan umat manusia. Hal ini sekaligus memberikan alternative solusi atas berbagai dilemma demokrasi yang memunculkan kenyataan bahwa penerapan demokrasi tidak selamanya mampu menuai kesejahterahan bagi penganutnya. Yang terjadi justru kemerosotan kehidupan yang ditandai dengan meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran dan dan kriminalitas. Biang keladi kemerosotan ditudingkan pada demokrasi sebagai hasil kreasi manusia atas dasar pengakuan hak dan kebebasan individu yang cenderung kebablasan saat nilai-nilai keislaman yang bersumber pada ajaran ketuhanan terlupakan.
Kalangan muslim yang mengikuti system demokrasi bersikeras memandang bahwa islam adalah sebuah pedoman hidup yang perlu dijabarkan dalam realitas kehidupan social masyarakat lewat aturan strategis dan praktis. Sebagai pedoman, Islam tentu saja menunjuki jalan,sementara system demokrasi adalah jalan praktis tersebut. Tidak peduli jika masyarakat barat yang notabene memiliki sejarah paling panjang mengawal gagasan demokrasi hingga menyemarak dalam tata pemerintahan modern. Secara implist, nilai-nilai keislaman pada dasarnya sesuai dengan demokrasi dan boleh jadi demokrasi adalah pilihan praktis yang membumikan prinsip islam sebagai pedoman hidup.

Sebagian kalangan yang lain menentang dengan gagasan tersebut. Memandang bahwa islam sebagai pedoman sekaligus pola praktis dalam sisitem pemerintahan, bukan demokrasi. Atas dasar itu diperlukan legalisasi agama dengan berbagai perangkat syariahnya dalam konteks kehidupan bernegara serta peran agama sebagai landasan moral. Legalisasi agama bertitik tolak pada perlunya agama menjadi symbol, ideologi serta pedoman utuh dalam kehidupan bernegara. Rujukan pada agama pilihan pun bersumber pada sejauh mana agama yang dianut secara mayoritas. Atas dasar itu, wacana yang pernah mengemuka di Indonesia adalah pendirian Negara islam (Daulah Islamiyah).

Konsep pemerintahan masyarakat adinah menjadi rujukan utama, mengingat Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemimpin sekaligus politik. Meski demikian, patut diketahui bahwa posisi dan peran Muhammad kala itu tidak bias dijadikan contoh dan argument untuk menggagas Negara Islam. Sebab legitimasi yang diperoleh Muhammad adalah legitimasi berdasarkan kekuatan politik de facto (syawkah), melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban risalah untuk seluruh umat manusia. Baik mereka yang hidup pada masa beliau maupun hidup yang sesudah beliau, sepanjang zaman. Kenabian atau nubuwwah telah berhenti dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw. Sementara gagasan Negara islam dengan pelembagaan nilai-nilai islam pada dasarnya merujuk pada system pemerintahan, kepemimpinan atau jabatan khalifah dipilih dan diangkat oleh umat setelah beliau.

Sumber otoritas dan kewenangan para khalifah berbeda sama sekali dari sumber otoritas Muhammad. Istilah khalifah sebagai nama jabatan yang pertama kali dipegang oleh Abu Bakar adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak secara langsung berasal dari kitab maupun sunna. Karena itu ia tidak mengandung kesucian didalam dirinya, sebab ia hanya suatu kreasi social budaya (Nurcholis Madjid, 1994; 591-592). Dengan demikian, hanya sosok nabi Muhammad saw saja yang layak menjadi pemimpin swebuah system pemerintahan agama, selebihnya memilki preseden yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.

Oleh karena itu menurut Madjid, munculnya gagasan Negara islam dikalangan umat islam pada dasarnya tidak lebih dari sebuah kecenderungan apologetic yang tumbuh dari dua arah, Pertama Apologi kepada idiologi-idiologi barat (modern) seperti demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Apresiasi idiologis politis yang totaliter terhadap islam menimbulkan suatu pemikiran bahwa islam bukan hanya agama tetapi islam adalah “ad-din” yang mencakup segala kehidupan, baik politik, ekonomi, social, budaya dan lainnya.

Kedua, legalisme ini menimbulkan apresiasi serba legalistis kepada islam, yang mengangap bahwa islam itu adalah struktur dan kumpulan hokum. Legalisme inilah merupakan kelanjutan dari Fikihisme. Fikih adalah kodifikasi hokum hasil pemikiran sarjana islam pada abad-abad kedua dan ketiga hijrah. Padahal fikih itu, meskipun sudah ditangani oleh kaum reformis , sudah kehilangan relevansinya dengan kehidupan zaman sekarang, sedangkan perombakannya secara total sehingga sesuai dengan pola kehidupan modern dari segala aspeknya, tidak lagi menjadi kompetensi dan kepentingan umat islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka hasilnya tidak perlu hanya merupakan hokum islam, melainkan hokum yang meliputi semua orang untuk mengatur kehidupan bersama.

Selain itu, rumusan tentang pelembagaan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan bernegara tidak memiliki contoh dan racikan Nabi Muhammad saw. Abudarahman Wahid bahkan menegaskan bahwa juka memang nabi menghendaki berdirinya sebuah “Negara islam”, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal.Nabi memerintahkan untuk bermusyawarah dalam segala persoalan. Masalah sepenting ini bukannya dilembagakan secara kongkrit, melainkan dicukupkan dengan sebuah dictum saja, yaitu “masalah mereka haruslah dimusyawarahkan antara mereka”. (Q.S Al-Asyura;38). (Bachtiar Effendy;2002:184.

Tidak adanya prinsip yang jelas dalam formulasi khusu seputar Negara islam, menimbulkan celah pemikiran bahwa pada prinsipnya konsep demokrasi sejalan dengan nilai-nilai islam. Bahlan secara historis, menurut Robert M. Bellah, kontekstualisasi kehidupan masyarakat madinah dibawah pimpinan nabi Muhammad saw merupakan contoh penerapan demokrasi diala modern. Apa yang disebut Bellah tidak terkait dengan kasus particular hokum islam yang dijalankan Muhammad namun lebih pada nilai-nilai keislaman seperti kemanusiaan dan keadilan universal yang terwujud dalam kehidupan social dan masyarakat yang tidak hanya dihuni umat islam.Nabi Muhammad saw dalam mengambil keputusan acapkali meminta pendapat dari para sahabatnya. Hal ini menujukan bahwa terdapat hal-hal tertentu yang tidak bisa sekedar diselesaikan atas nama agama saja. Namun lebih pada hasil kresi dan pemikiran manusia yang bersumber pada dinamika kehidupan masyarakat. Demokrasi tidak sekedar bersumber dari pemikiran barat, namun memiliki akar historis dalam tradisi Islam. Dalam perkembangan sejarah politik Islam, konsep syura tidak dikembangkan. Hal ini memberikan kesan bahwa islam tidak sejalan dengan konsep demokrasi. Ini membuat umat islam bingung tentang konsep seperti apa yang sebenarnya dianut dalam system politik islam (Ahmad Syafii Maarif, 2004).

Meski demikian konsep islam sebagai ajaran universal tetap saja menuai kekeliruan dari pihak pengagum system khilafah dan penolak system demokrasi hingga dari kalangan masyarakat barat sendiri. Beberapa intelektual barat tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang islam (Tariq Ramadhan, 2004). Akibatnya, Ungkap Fahmi Huwaydi, Islam didiskreditkan dua hal, Pertama, Ketika ia dibandingkan dengan demokrasi dan kedua, Islam bertentangan dengan demokrasi. Menurut huwaydi, membandingkan antar keduanya  merupakan hal yang keliru. Seperti halnya menganggapnya saling bertentangan. Dari segi metode, perbandingan keduanya tidak bisa dibenarkan. Karena islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah,akhlak dan mua’amalah manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah system pemerintahan dan mekanisme kerjasama antar anggota masyarakat serta symbol yang membawa banyak nilai-nilai positif (Fahmi Huwaydi, 1993:151).

Wacana Islam dan demokrasi muncul ketika perdebatan tentang eksistensi islam dalam tradisi politik mengemuka. Gagasan demokrasi memasuki ranah tata pemerintahan dunia Islam yang menghendaki terealisasinya corak demokratis dari sebuah pemerintahan. Dalm tradisi Islam sendiri, Islam dan politik bukan suatu hal yang baru. Dinamika perkembangannya telah tertoreh dalam kitab suci Al-Qur’an. Khususnya ayat yang menyatakan pentingnya kepatuhan kepada Allah dan RasulNya serta para pemimpin (Q.S An Nisa; 59).
Melembagakan Islam berarti tidak menghayati dan mengamalkan inti ajrannya yang selayak diterima semua umat (rahmatan lil alamin). Negara Islam bukannlah suatu hal yang dapat dilakukan secara sembarangan karena perangkat lunaknya harus disiapkan secara sungguh-sungguh, disiapkan secara matang dan tahan bantingan sejarah. Isinya jauh lebih penting, karena penting untuk memahami pesan moral universal dari suatu agama, sebagai suatu rahmat. Islam ditempatkan sebagai agama terbuka (open religion), yang dimaksudkan bahwa islam menolak ekslusivisme dan absolutism dan berapresiasi tinggi terhadap pluralism. (NPR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar