Islam
dan demokrasi sering diposisikan secara berhadap-hadapan dan saling menafikan.
Banyak pemikir Muslim dan intelektual menafsirkan diri mereka dengan “kualitas
demokrasi”, bukan melalui praktik konkret dari praktik-praktik demokrasi, namun
semata-mata karena oposisi nominal terhadap para Islamis. Di satu sisi,
beberapa kalangan Muslim menolak kata “demokrasi” , karena merupakan bagian
dari sejarah barat dan “tidak terdapat dalam Al-Qur’an”.
Kerumitan
persoalan semakin mengemuka ketika entitas sebagai sesuatu yang universal harus
dijewantahkan dalam keseluruhan dimensi kehidupan umat manusia. Hal ini
sekaligus memberikan alternative solusi atas berbagai dilemma demokrasi yang
memunculkan kenyataan bahwa penerapan demokrasi tidak selamanya mampu menuai
kesejahterahan bagi penganutnya. Yang terjadi justru kemerosotan kehidupan yang
ditandai dengan meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran dan dan
kriminalitas. Biang keladi kemerosotan ditudingkan pada demokrasi sebagai hasil
kreasi manusia atas dasar pengakuan hak dan kebebasan individu yang cenderung
kebablasan saat nilai-nilai keislaman yang bersumber pada ajaran ketuhanan
terlupakan.
Kalangan
muslim yang mengikuti system demokrasi bersikeras memandang bahwa islam adalah
sebuah pedoman hidup yang perlu dijabarkan dalam realitas kehidupan social masyarakat
lewat aturan strategis dan praktis. Sebagai pedoman, Islam tentu saja menunjuki
jalan,sementara system demokrasi adalah jalan praktis tersebut. Tidak peduli jika
masyarakat barat yang notabene memiliki sejarah paling panjang mengawal gagasan
demokrasi hingga menyemarak dalam tata pemerintahan modern. Secara implist,
nilai-nilai keislaman pada dasarnya sesuai dengan demokrasi dan boleh jadi
demokrasi adalah pilihan praktis yang membumikan prinsip islam sebagai pedoman
hidup.
Sebagian
kalangan yang lain menentang dengan gagasan tersebut. Memandang bahwa islam
sebagai pedoman sekaligus pola praktis dalam sisitem pemerintahan, bukan
demokrasi. Atas dasar itu diperlukan legalisasi agama dengan berbagai perangkat
syariahnya dalam konteks kehidupan bernegara serta peran agama sebagai landasan
moral. Legalisasi agama bertitik tolak pada perlunya agama menjadi symbol, ideologi
serta pedoman utuh dalam kehidupan bernegara. Rujukan pada agama pilihan pun
bersumber pada sejauh mana agama yang dianut secara mayoritas. Atas dasar itu,
wacana yang pernah mengemuka di Indonesia adalah pendirian Negara islam (Daulah Islamiyah).
Konsep
pemerintahan masyarakat adinah menjadi rujukan utama, mengingat Nabi Muhammad
SAW adalah seorang pemimpin sekaligus politik. Meski demikian, patut diketahui
bahwa posisi dan peran Muhammad kala itu tidak bias dijadikan contoh dan argument
untuk menggagas Negara Islam. Sebab legitimasi yang diperoleh Muhammad adalah
legitimasi berdasarkan kekuatan politik de
facto (syawkah), melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban
risalah untuk seluruh umat manusia. Baik mereka yang hidup pada masa beliau
maupun hidup yang sesudah beliau, sepanjang zaman. Kenabian atau nubuwwah telah berhenti dengan wafatnya
Nabi Muhammad Saw. Sementara gagasan Negara islam dengan pelembagaan
nilai-nilai islam pada dasarnya merujuk pada system pemerintahan, kepemimpinan
atau jabatan khalifah dipilih dan diangkat oleh umat setelah beliau.
Sumber
otoritas dan kewenangan para khalifah berbeda sama sekali dari sumber otoritas
Muhammad. Istilah khalifah sebagai nama jabatan yang pertama kali dipegang oleh
Abu Bakar adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak secara langsung berasal
dari kitab maupun sunna. Karena itu ia tidak mengandung kesucian didalam
dirinya, sebab ia hanya suatu kreasi social budaya (Nurcholis Madjid, 1994;
591-592). Dengan demikian, hanya sosok nabi Muhammad saw saja yang layak
menjadi pemimpin swebuah system pemerintahan agama, selebihnya memilki preseden
yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Oleh
karena itu menurut Madjid, munculnya gagasan Negara islam dikalangan umat islam
pada dasarnya tidak lebih dari sebuah kecenderungan apologetic yang tumbuh dari
dua arah, Pertama Apologi kepada idiologi-idiologi
barat (modern) seperti demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya.
Apresiasi idiologis politis yang totaliter terhadap islam menimbulkan suatu
pemikiran bahwa islam bukan hanya agama tetapi islam adalah “ad-din” yang
mencakup segala kehidupan, baik politik, ekonomi, social, budaya dan lainnya.
Kedua,
legalisme ini menimbulkan apresiasi serba legalistis kepada islam, yang
mengangap bahwa islam itu adalah struktur dan kumpulan hokum. Legalisme inilah
merupakan kelanjutan dari Fikihisme. Fikih adalah kodifikasi hokum hasil
pemikiran sarjana islam pada abad-abad kedua dan ketiga hijrah. Padahal fikih
itu, meskipun sudah ditangani oleh kaum reformis , sudah kehilangan
relevansinya dengan kehidupan zaman sekarang, sedangkan perombakannya secara
total sehingga sesuai dengan pola kehidupan modern dari segala aspeknya, tidak
lagi menjadi kompetensi dan kepentingan umat islam saja, melainkan juga
orang-orang lain. Maka hasilnya tidak perlu hanya merupakan hokum islam,
melainkan hokum yang meliputi semua orang untuk mengatur kehidupan bersama.
Selain
itu, rumusan tentang pelembagaan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan
bernegara tidak memiliki contoh dan racikan Nabi Muhammad saw. Abudarahman
Wahid bahkan menegaskan bahwa juka memang nabi menghendaki berdirinya sebuah “Negara
islam”, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak
dirumuskan secara formal.Nabi memerintahkan untuk bermusyawarah dalam segala
persoalan. Masalah sepenting ini bukannya dilembagakan secara kongkrit,
melainkan dicukupkan dengan sebuah dictum saja, yaitu “masalah mereka haruslah
dimusyawarahkan antara mereka”. (Q.S Al-Asyura;38). (Bachtiar Effendy;2002:184.
Tidak
adanya prinsip yang jelas dalam formulasi khusu seputar Negara islam, menimbulkan
celah pemikiran bahwa pada prinsipnya konsep demokrasi sejalan dengan
nilai-nilai islam. Bahlan secara historis, menurut Robert M. Bellah,
kontekstualisasi kehidupan masyarakat madinah dibawah pimpinan nabi Muhammad saw
merupakan contoh penerapan demokrasi diala modern. Apa yang disebut Bellah
tidak terkait dengan kasus particular hokum islam yang dijalankan Muhammad
namun lebih pada nilai-nilai keislaman seperti kemanusiaan dan keadilan
universal yang terwujud dalam kehidupan social dan masyarakat yang tidak hanya
dihuni umat islam.Nabi Muhammad saw dalam mengambil keputusan acapkali meminta
pendapat dari para sahabatnya. Hal ini menujukan bahwa terdapat hal-hal
tertentu yang tidak bisa sekedar diselesaikan atas nama agama saja. Namun lebih
pada hasil kresi dan pemikiran manusia yang bersumber pada dinamika kehidupan
masyarakat. Demokrasi tidak sekedar bersumber dari pemikiran barat, namun
memiliki akar historis dalam tradisi Islam. Dalam perkembangan sejarah politik
Islam, konsep syura tidak
dikembangkan. Hal ini memberikan kesan bahwa islam tidak sejalan dengan konsep
demokrasi. Ini membuat umat islam bingung tentang konsep seperti apa yang
sebenarnya dianut dalam system politik islam (Ahmad Syafii Maarif, 2004).
Meski
demikian konsep islam sebagai ajaran universal tetap saja menuai kekeliruan
dari pihak pengagum system khilafah dan penolak system demokrasi hingga dari
kalangan masyarakat barat sendiri. Beberapa intelektual barat tidak memiliki
pemahaman yang memadai tentang islam (Tariq Ramadhan, 2004). Akibatnya, Ungkap
Fahmi Huwaydi, Islam didiskreditkan dua hal, Pertama, Ketika ia dibandingkan dengan demokrasi dan kedua, Islam bertentangan dengan
demokrasi. Menurut huwaydi, membandingkan antar keduanya merupakan hal yang keliru. Seperti halnya
menganggapnya saling bertentangan. Dari segi metode, perbandingan keduanya tidak
bisa dibenarkan. Karena islam merupakan agama dan risalah yang mengandung
asas-asas yang mengatur ibadah,akhlak dan mua’amalah
manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah system pemerintahan dan mekanisme
kerjasama antar anggota masyarakat serta symbol yang membawa banyak nilai-nilai
positif (Fahmi Huwaydi, 1993:151).
Wacana
Islam dan demokrasi muncul ketika perdebatan tentang eksistensi islam dalam
tradisi politik mengemuka. Gagasan demokrasi memasuki ranah tata pemerintahan
dunia Islam yang menghendaki terealisasinya corak demokratis dari sebuah
pemerintahan. Dalm tradisi Islam sendiri, Islam dan politik bukan suatu hal
yang baru. Dinamika perkembangannya telah tertoreh dalam kitab suci Al-Qur’an.
Khususnya ayat yang menyatakan pentingnya kepatuhan kepada Allah dan RasulNya
serta para pemimpin (Q.S An Nisa; 59).
Melembagakan
Islam berarti tidak menghayati dan mengamalkan inti ajrannya yang selayak
diterima semua umat (rahmatan lil alamin).
Negara Islam bukannlah suatu hal yang dapat dilakukan secara sembarangan karena
perangkat lunaknya harus disiapkan secara sungguh-sungguh, disiapkan secara
matang dan tahan bantingan sejarah. Isinya jauh lebih penting, karena penting
untuk memahami pesan moral universal dari suatu agama, sebagai suatu rahmat.
Islam ditempatkan sebagai agama terbuka (open
religion), yang dimaksudkan bahwa islam menolak ekslusivisme dan absolutism
dan berapresiasi tinggi terhadap pluralism. (NPR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar