Minggu, 22 April 2012

Karunia Kegagalan

Kehidupan ini, sebenarnya lebih mirip pelangi ketimbang sebuah foto hitam putih. Setiap manusia akan merasakan  begitu banyak warna kehidupan. la mungkin mencintai sebagian warna tersebut. Akan tetapi, ia pasti tidak akan mencintai semua warna itu.
 Demikian pula dengan perasaan kita. Semua warna kehidupan yang kita alami, akan kita respon dengan berbagai jenis perasaan yang berbeda-beda. Maka, ada duka di depan suka, ada cinta di depan benci, ada harapan di depan cemas, ada gembira di depan sedih. Kita merasakan semua warna perasaan itu, sebagai respon kita terhadap berbagai peristiwa kehidupan yang kita hadapi.

Seseorang menjadi pahlawan, sebenarnya disebabkan sebagiannya oleh kemampuannya mensiasati perasaan-perasaannya sedemikian rupa, sehingga ia tetap berada dalam kondisi  kejiwaan yang medukung proses produktivitasnya. Misalnya, ketika kita menghadapi kegagalan. Banyak orang yang lebih suka mengutuk kegagalan dan menganggapnya sebagai musibah dan cobaan hidup. Kita mungkin tidak akan melakukan itu seandainya di dalam diri kita ada kebiasaan untuk memandang berbagai peristiwa kehidupan secara objektif, ada tradisi jiwa besar, ada kelapangan dada, dan pemahaman akan takdir yang mendalam. Kegagalan, dalam berbagai aspek kehidupan, terkadang diperlukan untuk mencapai sebuah sukses. Bahkan, dalam banyak cerita kehidupan yang pernah kita dengar atau baca dari orang-orang sukses, kegagalan menjadi semacam faktor pembeda dengan sukses, yang diturunkan guna menguatkan dorongan untuk sukses dalam diri seseorang. Di sela-sela itu semua, kita juga membaca sebuah cerita, tentang bagaimana kegagalan telah mengalihkan perhatian seseorang kepada kompetensi inti, atau pusat keunggulan, yang semula tidak ia ketahui sama sekali. Itulah yang dialami oleh Ibnu Khaldun. Kita semua mengenal nama ini sebagai seorang sejarawan dan filosof sejarah. la telah menulis sebuah buku sejarah bangsa-bangsa dunia dengan sangat cemerlang. Namun, yang jauh lebih cemerlang dari buku sejarah itu adalah tulisan pengantarnya yang memuat kaidah-kaidah pergerakan sejarah, hukum-hukum kejatuhan, dan kebangunan bangsa-bangsa. Tulisan pengantar itulah yang kemudian dikenal sebagai Muqaddimah Ibnu Khaldun. Di negeri kita "Muqaddimah" buku sejarah ini bahkan sudah diterjemahkan, sementara buku sejarah-nya sendiri belum diterjemahkan.
Buku Muqaddimah itulah yang mengantarkan Ibnu Khaldun menduduki posisi sebagai filosof sejarah yang abadi dalam sejarah. Namun, mungkin jarang di antara kita yang tahu kalau sesungguhnya buku itu merupakan hasil perenungan selama kurang lebih empat bulan, atas kegagalannya sebagai praktisi politik. Takdirnya adalah menjadi filosof sejarah. Bukan sebagai politisi ulung. Akan tetapi, mungkinkah ia menemukan takdir itu, seandainya ia tidak melewati deretan kegagalan yang membuatnya bosan dengan politik, dan membawanya ke dalam perenungan-perenungan panjang di luar pentas politik, tetapi yang justru kemudian membuatnya melahirkan karya monumental? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar