Kehidupan
ini, sebenarnya lebih mirip pelangi ketimbang sebuah foto hitam putih. Setiap manusia
akan merasakan begitu banyak warna kehidupan.
la mungkin mencintai sebagian warna tersebut. Akan tetapi, ia pasti tidak akan
mencintai semua warna itu.
Demikian pula dengan perasaan kita. Semua
warna kehidupan yang kita alami, akan kita respon dengan berbagai jenis perasaan
yang berbeda-beda. Maka, ada duka di depan suka, ada cinta di depan benci, ada harapan
di depan cemas, ada gembira di depan sedih. Kita merasakan semua warna perasaan
itu, sebagai respon kita terhadap berbagai peristiwa kehidupan yang kita
hadapi.
Seseorang
menjadi pahlawan, sebenarnya disebabkan sebagiannya oleh kemampuannya
mensiasati perasaan-perasaannya sedemikian rupa, sehingga ia tetap berada dalam
kondisi kejiwaan yang medukung proses
produktivitasnya. Misalnya, ketika kita menghadapi kegagalan. Banyak orang yang
lebih suka mengutuk kegagalan dan menganggapnya sebagai musibah dan cobaan
hidup. Kita mungkin tidak akan melakukan itu seandainya di dalam diri kita ada
kebiasaan untuk memandang berbagai peristiwa kehidupan secara objektif, ada
tradisi jiwa besar, ada kelapangan dada, dan pemahaman akan takdir yang
mendalam. Kegagalan, dalam berbagai aspek kehidupan, terkadang diperlukan untuk
mencapai sebuah sukses. Bahkan, dalam banyak cerita kehidupan yang pernah kita
dengar atau baca dari orang-orang sukses, kegagalan menjadi semacam faktor
pembeda dengan sukses, yang diturunkan guna menguatkan dorongan untuk sukses
dalam diri seseorang. Di sela-sela itu semua, kita juga membaca sebuah cerita,
tentang bagaimana kegagalan telah mengalihkan perhatian seseorang kepada
kompetensi inti, atau pusat keunggulan, yang semula tidak ia ketahui sama
sekali. Itulah yang dialami oleh Ibnu Khaldun. Kita semua mengenal nama ini
sebagai seorang sejarawan dan filosof sejarah. la telah menulis sebuah buku
sejarah bangsa-bangsa dunia dengan sangat cemerlang. Namun, yang jauh lebih
cemerlang dari buku sejarah itu adalah tulisan pengantarnya yang memuat
kaidah-kaidah pergerakan sejarah, hukum-hukum kejatuhan, dan kebangunan
bangsa-bangsa. Tulisan pengantar itulah yang kemudian dikenal sebagai
Muqaddimah Ibnu Khaldun. Di negeri kita "Muqaddimah" buku sejarah ini
bahkan sudah diterjemahkan, sementara buku sejarah-nya sendiri belum
diterjemahkan.
Buku
Muqaddimah itulah yang mengantarkan Ibnu Khaldun menduduki posisi sebagai
filosof sejarah yang abadi dalam sejarah. Namun, mungkin jarang di antara kita
yang tahu kalau sesungguhnya buku itu merupakan hasil perenungan selama kurang
lebih empat bulan, atas kegagalannya sebagai praktisi politik. Takdirnya adalah
menjadi filosof sejarah. Bukan sebagai politisi ulung. Akan tetapi, mungkinkah
ia menemukan takdir itu, seandainya ia tidak melewati deretan kegagalan yang
membuatnya bosan dengan politik, dan membawanya ke dalam perenungan-perenungan
panjang di luar pentas politik, tetapi yang justru kemudian membuatnya
melahirkan karya monumental?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar