Di
balik setiap pahlawan besar selalu ada seorang perempuan agung. Begitu kata
pepatah Arab. Perempuan agung itu biasanya satu dari dua, atau dua-duanya
sekaligus; sang ibu dan atau sang istri.
Pepatah
itu merupakan hikmah psiko-sejarah yang menjelaskan sebagian dari latar belakang kebesaran seorang pahlawan. Bahwa
karya-karya besar seorang pahlawan lahir ketika seluruh energi di dalam dirinya
bersinergi dengan momentum di luar dirinya; tumpah ruah bagai banjir besar yang
tidak terbendung. Tibatiba, sebuah sosok telah hadir dalam ruang sejarah dengan
tenang dan ajeg.
Apa
yang dijelaskan oleh hikmah psiko-sejarah itu adalah sumber energi para
pahlawan; perempuan adalah salah satunya. Perempuan bagi banyak pahlawan adalah
penyangga spiritual, sandaran emosional; dari sana mereka mendapatkan
ketenangan dan gairah, kenyamanan dan keberanian, keamanan dan kekuatan. Laki-laki
menumpahkan energinya di luar rumah dan mengumpulkannya kembali dari dalam
rumahnya. Kekuatan besar yang dimiliki para perempuan yang mendampingi para
pahlawan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta, dan kasih sayang. Kekuatan itu
sering dilukiskan seperti dermaga tempat kita menambat kapal atau pohon rindang
tempat sang musafir berteduh. Namun, kekuatan emosi itu sesungguhnya merupakan
padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat kita menumpahkan sisi kepolosan dan
kekanakan kita, tempat kita bermain dengan lugu dan riang, saat kita melepaskan
kelemahan-kelemahan kita dengan aman, saat kita merasa bukan siapa-siapa, saat
kita menjadi bocah besar. Sebab, di tempat dan saat seperti itulah para
pahlawan menyedot energi jiwa mereka. Itu sebabnya Umar bin Khattab mengatakan,
"Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tetapi berubahlah menjadi lelaki
perkasa ketika keadaan memanggilmu." Kekanakan dan keperkasaan, kepolosan
dan kematangan, saat lemah dan saat berani, saat bermain dan saat berkarya,
adalah ambivalensi-ambivalensi kejiwaan yang justru berguna menciptakan
keseimbangan emosional dalam diri para pahlawan. "Saya selamanya ingin
menjadi bocah besar yang polos," kata Sayyid Quthub. Para pahlawan selalu
mengenang saat-saat indah ketika ia berada dalam pangkuan ibunya dan selamanya
ingin begitu ketika terbaring dalam pangkuan istrinya. Siapakah yang pertama
kali ditemui Rasulullah saw setelah menerima wahyu dan merasakan ketakutan yang
luar biasa? Khadijah! Maka, ketika Rasululullah saw ditawari untuk menikah
setelah Khadijah wafat, beliau mengatakan, "Dan siapakah wanita yang
sanggup menggantikan peran Khadijah?" Itulah keajaiban dari kesederhanaan.
Kesederhanaan yang sebenarnya adalah keagungan; kelembutan, kesetiaan, cinta,
dan kasih sayang. Itulah keajaiban perempuan.
Saudaraku, kalau kau teteskan air matamu
kau basahi pula nisanku dalam sunyi
Nyalakan lilin-lilin dari tulang
belulangku
Jalanlah terus ke kemenangan abadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar