Rabu, 18 April 2012

Pemuda Ditengah Polarisasi Budaya

            Potret pemuda sebagai produk budaya hari ini sangat jelas memberikan pengaruh bagi perkembangan suatu bangsa. Baik dari sudut pandang ekonomi, teknologi maupun politik dimana dari ketiga wawasan inilah yang senantiasa dijadikan titik tolak dalam upaya pembenahan bangsa ini. Begitu banyak episode dalam sejarah bangsa ini yang berangkat dari peran pemuda karena beberapa karakteristiknya yang dominan. Salah satunya adalah pemahaman mereka tentang permasalahan rakyat dan tidak ragu-ragu dalam berkorban demi kepentingan rakyat.
            Perlu juga digarisbawahi bahwa pemuda sebagai produk budaya akan membawa dampak yang begitu luar biasa apabila jati diri sebagai agen peubah dibawa ke arah dekonstruksi sosial budaya. Pembangunan bangsa sangat berpengaruh dari peran dan interaksi antara pemuda dengan budaya itu sendiri. Dengan demikian, aspek budaya harus menjadi variabel yang integral dalam kerangka antisipasi terhadap akibat-akibat sosial budaya dalam pembangunan bangsa.

            Dari sini kita bisa mulai masuk menganalisa apa dan bagaimana perkembangan budaya dalam sebuah pembangunan bangsa memberikan pengaruhnya terhadap kondisi pemuda. Globalisasi yang kian deras membawa arus westernisasi telah bekerja sungguh efektif menjauhkan karakteristik pemuda Indonesia. Kita mengenal Budi Utomo, tokoh pemuda di era awal kebangkitan bangsa. Kita juga mengenal Sho Hoek Gie tokoh  mahasiswa di tahun 1960-an, atau Elang Surya Laksana yang disebut sebagai pahlawan reformasi, dan juga masih banyak yang lain.
            Kini kegagahan pemuda sebagai tonggak sejarah dan perubahan kian sirna ditelan sang jaman. Hedonisme sebagai salah satu dampak westernisasi yang membuat bangsa ini semakin prihatin, disamping masih banyak akibat yang lain terutama egoisme. Di satu sisi hedonisme ini mengarah pada budaya anti-intelektualitas yang kemudian di sisi lain menjerembab pemuda untuk menumbuhkan sikap egois mereka. Di sini ada semacam polarisasi budaya yang terjadi di tengah pertumbuhan pemuda bangsa, saya menyebutnya budaya intelektual dan budaya anti-intelektual.
            Tanpa ingin menyudutkan salah satu ragam kebudayaan, budaya intelektual disini dibangun berdasarkan wawasan budaya dengan nilai pengabdian pada bangsa. Sebaliknya, budaya anti-intelektual berkembang karena semangat egosentrik yang membabi buta hingga pada akhirnya membuat pemuda semakin jauh dengan penderitaan massa-rakyat. Permasalahan ini muncul tentu tidak berdiri sendiri, disini ada peran pemerintah sebagai penentu arah kebijakan yang tentu saja sangat berpengaruh pada semangat pembangunan bangsa dan peran pemudanya.
             Seakan telah menjadi ideologi bangsa ini permasalahan ekonomi selalu  menjadi akar dalam pembenahan bangsa diikuti kebijakan politiknya. Wacana ini masih dominan, sehingga mengakibatkan kita kewalahan memecahkan masalah sosial budaya karena tidak pernah membuat kebijakan yang berhulu pada faktor budaya. Contoh riil beberapa waktu yang lalu adalah bentrokan yang terjadi di Makassar oleh sekelompok anggota organisasi kepemudaaan yang diakibatkan oleh kebijakan ekonomi yang dimainkan oleh kepentingan politik.
            Dari kondisi ini menjadi sangat jelas budaya anti-intelektualitas tidak hanya menjangkit pemuda dengan atribut hedonisme-nya, tapi juga aktivis pemuda yang sudah jauh dari wawasan budaya tanah air. Sudah menjadi tugas bagi pemuda sebagai generasi penerus bangsa untuk memberikan kontribusi positif bagi perkembangan tanah air. Segala bentuk prestasi bisa kita ukir, dari wilayah yang paling privat yaitu hobi dan kegemaran atau mungkin dalam skala makro yaitu partisipasi dalam pembangunan.
            Secara global beberapa penyakit yang ditimbulkan karena beberapa aktivitas kepemudaaan adalah sikap sembrono, tradisional dan cara pandang yang parsial. Sikap yang pertama bisa digambarkan ketika dengan sangat mudahnya budaya barat yang kontraproduktif tidak disaring oleh para pemuda kita. Semua dianggap baik, meski tidak semua kebudayaan yang berasal dari barat membawa dampak yang  merugikan. Hedonisme adalah produk yang kentara ada di hadapan kita. Perpustakaan di sekolah dan kampus-kampus nyaris selalu sepi, sedangkan kafe dan tempat hiburan hampir tak pernah sepi dari pengunjung yang sebagian besar kaum muda.
Sikap sembrono dianggap menjadi salah satu tolak hilangnya jati diri pemuda sebagai calon pemimpin bangsa. Dalam aspek aktifitas, mayoritas pemuda melakukan rutinitas yang anti-sosial sering nampak dalam perilaku keseharian, tanpa kesadaran aktif dalam wacana kerakyatan. Akibat aktifitas seperti ini, justru membawa dampak dekontruksi terhadap lingkungan sosial. Kegiatan hura-hura dan interaksi sosial masyarakat yang buruk mengakibatkan pada ketidakpercayaan publik terhadap generasi muda.
Sikap yang kedua adalah tradisional, yang meskipun jarang kita temui namun nyata dalam realitas pemuda kita hari ini. Ketidakmampuan pemuda mengikuti perkembangan teknologi dan pemanfaatannya mengakibatkan ketertinggalan bangsa kita dari bangsa lain. Bahkan ada sebagian yang nyaman dengan kondisi ketertinggalan yang ada, seakan tidak menerima realita kehidupan sosial masyarakat secara global. Padahal sarana teknologi yang ada dengan tetap memegang nilai dan wawasan budaya bangsa kita justru akan mempercepat akselerasi kepemimpinan pemuda.
Sikap yang terakhir memilki relevansi yang sangat antara kedua sikap sebelumnya. Memandang budaya dan perkembangannya secara parsial ternyata memunculkan permasalahan baru yang sama rumit, dan hal ini dibuktikan secara empirik pada kondisi pemuda kita hari ini. Semua diterima sebagian saja sesuai keinginan yang bersifat individual bukan kebutuhan publik yang bersifat general. Tanpa membangun kompromi dan keinginan untuk membaca serta menganalisa dampak sosial dari sebuah perkembangan, pemuda seakan bertiindak sporadis, menerima atau menolak mentah-mentah.
Kita tentu ingin memandang posisi pemuda di masyarakat bukan menjadi kelompok pengekor yang sekedar berfoya-foya, membuang-buang waktu dengan aktifitas-aktivitas yang bersifat hura-hura dan tidak ada manfaatnya. Negeri ini menaruh harapan yang besar kepada para pemuda untuk menjadi pelopor dan motor penggerak kesejahteraan rakyat. Pemuda adalah kelompok masyarakat yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya, diantaranya adalah bahwa mereka relatif masih bersih dari pencemaran baik politik maupun kekuasaan, mereka memiliki semangat yang kuat dan kemampuan mobilitas yang tinggi.
            Pemuda yang diharapkan memberikan ruang bagi pertumbuhan dan kebaikan negeri ini selalu dinantikan oleh sejarah. Dengan memahami bahwa generasi emas adalah masa dimana para pemudanya rela bekerja untuk membangun masyarakat. Tentu saja didasari pada keyakinan diri sebagai manifestasi kepemimpinan bangsa ini di masa mendatang. Pemuda kemudian diharapkan mampu menghidupkan semangat bagi rakyat untuk senantiasa dalam barisan perjuangan membangun negeri. Dekat dengan prinsip intelektualitas dan spiritualitas untuk membangun hubungan yang integral antara efektivitas dan moralitas kerja.(B.B)


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar