"Jika
kamu meminta sesuatu kepada mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari
balik hijab. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka."
(al-Ahzab,
53)
Abad 21 merupakan era yang menggambarkan
kecanggihan teknologi atau bahkan kompetisi persaingan intelektual yang begitu
ketat. Hal inipun tidak lepas dari mode busana-busana kaum hawa yang kian
terwarnai budaya barat.Busana minimalis menjadi trend bagi kaum prempuan.
Banyak keinginan para muslimah menghijab dirinya dengan menggunakan jilbab. Akan
tetapi dewasa ini, ada dua kosa kata dipakai untuk makna sama, hijab dan
jilbab. Keduanya adalah pakaian perempuan yang menutup kepala dan tubuhnya. Seperti
yang disebutkan pada Al-qur'an, kata hijab untuk arti tirai, pembatas,
penghalang. Yakni, sesuatu yang menghalangi, membatasi, memisahkan antara dua
bagian atau dua pihak yang berhadapan, sehingga satu sama lain tidak saling
melihat atau memandang. Dalam Alqur'an menyatakan : "Jika kamu meminta
sesuatu kepada mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari balik hijab.
Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka."(al-Ahzab, 53). Hijab
dalam ayat ini menunjukkan arti penutup yang ada dalam rumah Nabi saw, yang
berfungsi sebagai sarana menghalangi atau memisahkan tempat kaum laki-laki dari
kaum perempuan agar mereka tidak saling memandang. Secara tekstual (lahiriah),
ayat ini digunakan para ulama kemudian untuk membuat hijab untuk umat.(Perpustakaan
Rahima, 2009)
Kita ingat hari International Hijab Solidarity Days (IHSD) tepat pada tanggal 4 September sebuah seruan untuk menentang pemerintah yang melarang muslimah menggunakan jilbab. Bila melihat ayat diatas, hijab adalah satu bentuk pakaian yang dikenakan perempuan. Akan tetapi, kemudian hari hijab diartikan sebagai pakaian sebagaimana jilbab atau busana muslimah. Dalam banyak buku berbahasa arab (kitab) kontemporer, hijab telah dimaknai sebagai jilbab. Jilbab, seperti disebutkan dalam al-Qur'an, " Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu" (al-Ahzab, 59).
Para ahli tafsir menggambarkan jilbab
dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Abbas dan Abidah al-Samani merumuskan
jilbab sebagai pakaian perempuan yang menutupi wajah berikut seluruh tubuhnya
kecuali satu mata. Dalam keterangan lain disebutkan sebagai mata sebelah kiri.
Qatadah dan Ibnu Abbas dalam pendapatnya yang lain mengatakan, makna
mengulurkan jilbab adalah menutupkan kain ke dahinya dan sebagian wajahnya,
dengan membiarkan kedua matanya. Mengutip pendapat Muhammad bin Sirin, Ibnu
Jarir mencerita, "Saya tanya kepada Abidah al-Samani mengenai ayat yudnina
'alaihinna min jalabihinna (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya). Maka dia
menutupkan wajahnya dan kepalanya semabil menampakkan mata kirinya". Ibnu
al-Arabi dalam tafsir Ahkam al-Qur'an, ketika membicarakan ayat ini menyebutkan
dua pendapat. Pertama, menutup wajahnya dengan kain itu sehingga tidak tampak
kecuali mata kirinya" (III/1586).
Azzamakhsyari
dalam Alkasysyaf merumuskan jilbab sebagai pakaian yang lebih besar daripada
kerudung tetapi lebih kecil daripada selendang. Ia dililitkan di kepala
perempuan dan membiarkannya terulur ke dadanya. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa
jilbab adalah selendang di atas kerudung. Ini yang disampaikan ibnu Mas'ud,
Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa'id bin Jubair al-Nakha'i, Atha al- Khurasani
dan lain-lain. Ia bagaikan "izar" sekarang. Al-Jauhari, ahli bahasa
terkemuka, mengatakan Izar adalah pakaian selimut atau sarung yang digunakan
untuk menutup badan (ibnu Katsir, III/518). Sementara Wahbah az-Zuhaili dalam
at tafsir al-Munir pada kesimpulan akhirnya mengatakan bahwa para ulama ahli
tafsir seperti Ibnu al-Jauzi, at-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu
as-Sa'ud, al-Jashash dan ar-Razi menafsirkan bahwa mengulurkan jilbab adalah
menutup wajah, tubuh dan kulit dari pandanan orang lain yang bukan keluarga
dekatnya (II/108) Latar belakang Turun Ayat Ada sejumlah riwayat, mengenai
latar belakang turunnya ayat ini. Satu diantaranya, disampaikan Ibnu Sa'ad
dalam bukunya al-Thabaqat dari Abu Malik. Katanya, "Suatu malam, para
isteri Nabi Saw keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Saat itu, kaum
munafiq menggoda dan mengganggu (melecehkan) mereka. Mereka mengadukan
peristiwa itu kepada Nabi. Ketika Nabi menegur, kaum munafiq itu berkata,
"Kami kira mereka perempuan-perempuan budak." Lalu turun surat
al-Ahzab ayat 59 (Wahbah, II/107). Ibnu Jarir at-Thabari, guru para ahli
tafsir, menyimpulkan ayat ini sebagai larangan menyerupai cara berpakaian
perempuan-perempuan budak.
Satu hal, perlu dicatat bahwa seruan
mengenakan jilbab, sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas, dimaksudkan
sebagai cara untuk meperlihatkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari
perempuan-perempuan budak. Soalnya, dalam tradisi Arab ketika itu,
perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga. Mereka mudah menjadi sasaran
pelecehan kaum laki-laki. Status sosial mereka juga direndahkan dan dihinakan.
Berbeda dari kaum perempuan merdeka. Dengan begitu, identifikasi perempuan
merdeka perlu dibuat agar tidak terjadi perlakuan yang sama dengan budak.
Istilah merdeka dimaksudkan agar mereka tidak menjadi sasaran pelecehan seksual
laki-laki. Ini sangat jelas disebutkan dalam teks ayat. Akan tetapi era
sekarang berjilbab menjadi sebuah cara pandang yang salah. Seringkali jilbab
dipandang hanya sebuah budaya bangsa Arab saja bukan sebuah kewajiban. Lebih
bijak ketika mengaku diri kita belum siap disbanding ingkar pada ayatNya.
Pertanyaan penting yang akhirnya muncul
adalah Kalau jilbab digunakan sebagai pencirian perempuan merdeka, bagaimana
pakaian yang biasa dikenakan perempuan budak ? Abdul Halim Abu Syuqqah
menginformasikan bahwa kaum perempuan Arab pra Islam sebenarnya biasa
mengenakan pakaian dengan berbagai bentuk atau mode. Ada yang memakai cadar dan
sebagainya. Beberapa bentuk dan mode pakaian yang dikenakan kaum perempuan Arab
saat itu, berlaku bagi perempuan merdeka dan perempuan budak. Ketika Islam
datang, mode dan bentuk pakaian yang menjadi tradisi masyarakat Arab jahiliyah
masih diakui. Tetapi, ada dugaan kuat, seruan pemakaian jilbab terhadap
perempuan-perempuan mukmin yang merdeka, mengindikasikan perempuan budak
tidaklah mengenakan jilbab. Atau mereka mengenakannya, tetapi tidak mengulurkannya
sampai menutup wajahnya. Tidak berjilbabnya perempuan budak masuk akal, karena
tugas-tugas berat mereka untuk melayani majikannya.
Atas dasar itu, surat al- Ahzab 59,
tampaknya hanya membicarakan ciri khusus pakaian perempuan merdeka, yang membedakannya
dari pakaian perempuan budak. Ciri itu adalah jilbab. Jadi, ayat ini secara
lahiriah, serta didukung latar belakang turunnya, hanya membicarakan jilbab
sebagai ciri perempuan merdeka, untuk membedakannya dengan perempuan budak.
Ayat ini tidak membicarakan aurat perempuan.
Pembicaraan mengenai batas-batas aurat
perempuan dikemukakan dalam ayat lain, misalnya surah al-Nur ayat 31. Para ahli
tafsir, ketika mengartikan jilbab, menghubungkan surat al-Ahzab dengan surat
an-Nur tadi. Dengan demikian, jilbab adalah pakaian tambahan, pelengkap atau
assesoris yang dirangkap pada pakaian lain yang untuk menutup tubuh perempuan
merdeka. Wahbah mengatakan, jilbab merupakan pelengkap kewajiban menutup aurat.
Ini adalah tradisi yang baik, untuk melindungi perempuan dari sasaran pelecehan
laki-laki (Wahbah, II/108). Ketika seorang muslimah merdeka menyatakan tidak
mempunyai jilbab untuk sholat 'id, Nabi mengatakan, hendaklah temannya
mengenakan jilbabnya kepada dia". Mengomentari hadist ini, al-Kasymiri dalam
Faidh al-Bari mengatakan," Dari sabda Nabi ini, diketahui bahwa memakai
jilbab hanya dituntut ketika perempuan keluar rumah." Abu Syuqqah
mengatakan, perintah Nabi di atas menunjukkan jilbab bukanlah pakaian pokok
untuk menutup aurat. Ia (perempuan itu), hanya memerlukan ketika keluar rumah,
khsusnya ketika akan buang air di malam hari dan ketika akan sholat jama'ah
(Abdul Halim, IV/59)
Bila jilbab menjadi pembeda perempuan
merdeka dari budak, sedang budak sudah tak ada lagi, maka pemakaian jilbab saat
ini tidak menjadi keharusan lagi, tetapi juga tak dilarang. Apalagi jilbab
hanya sebagai assesoris atau sebagai pelengkap sebagaimana yang dikatakan
Wahbah diatas. Itulah logika kausalitas. Persoalan tinggal pada masalah pakaian
penutup aurat. Dari sinilah, akan muncul perdebatan menarik. Kecantikan seorang
muslimah bukan muncul ketika ia menggunakan kain yang bagus atau bahkan warna
yang menarik, tapi kecantikan yang keluar itu berawal dari ia mampu memaknainya
apa yang ia kenakan (jilbab). Sungguh sangat disayangkan kala kita mengaku
merasa suci jika berjilbab akan tetapi akhlak yang ditunjukan jauh dari
kemuliaan seorang muslimah. Tetapi cintai saudara muslimah kita, sudah atau belum berjilbab. Saling
mendoakan semoga bertambah hidayah, semoga terjaga dlm kebaikanTeruntuk muslimah, maknailah apa yang engkau
kenakan, niscaya kemuliaan akan hadir dalam setiap langkah hari-harimu.
Assalamualikum...
BalasHapusAkh, ane mau nantang antum buat bikin essay atupun karya tulis...
gmna akh??? he..he..