Kamis, 30 Agustus 2012

"La yufta wal Maliku fil Madinah"

Keterhijaban prasangka yang baik seringkali terhambat sebuah lintasan pikiran yang negatif. Acap kali imajinasi kita terbentuk dari apa yang akan kita cari bahkan tidak terlepas jika menentukan sebuah pilihan dari apa yang ada di niat kita. Mari mengkaji Manaqib para Aimmah, di antara yang paling berkesan hari ini adalah asal mula ungkapan "La yufta wal Maliku fil Madinah." Dalam masa Atba'ut Tabi'in ungkapan ini masyhur tersepakati, "Janganlah terlahir fatwa padahal Imam Malik masih hidup di Madinah." Termula ia dari kejadian aneh, kala seorang wanita yang dikenal sebagai pezina meninggal & perempuan ahli rawat jenazah dipanggil. Perawat jenazah pun memandikan jasad wanita itu, tapi dengan rasa geram di hati mengingat bahwa si mayyit masyhur sebagai pendosa. Maka tatkala membasuh bagian kemaluan sang mayat, tak mampu lagi menahan gemas hati, diapun memukulnya & menggerutukan serapah. "Duhai, sudah berapa kali ini kaupakai mendurhakai Allah!", hardiknya. Ajaib, tangan yang memukul itu melekat di kemaluan jenazah. SubhanaLlah, maka jadi ricuhlah suasana pemulasaraan jenazah. Para 'alim & cendikia dihadirkan, ditanya & dimintai jalan keluar. Ada yang mengusulkan potong saja tangan pengurus jenazah. Ada yang berpendapat iris saja bagian tubuh mayyitnya. Semua tak elok. Buntu semua pembahasan, tak memuaskan segala jawaban, maka merekapun membawa perkara ini kepada Imam Daril Hijrah, Malik ibn Anas. Imam Malik menyatakan sembari meleleh air mata, "Ma'adzaLlah, betapa beratnya dosa menuduh zina, hingga Allah menetapkan hadNya." Allah turunkan hukum tentang dosa Qadzaf, menuduh seorang wanita berzina tanpa dapat menghadirkan bukti & 4 saksi dalam QS 24: 4. 


Maka Imam Malik memfatwakan agar pengurus jenazah yang tangannya melekat di kemaluan mayat itu dikenai had Qadzaf, dera 80 kali. Sebab walau telah masyhur bahwa jenazah yang dimandikan itu semasa hidupnya adalah pezina, tapi tiada 4 saksi melihat langsung. Jadi ringkas kisah, si pengurus jenazah pun dicambuk 80 kali sesuai had Qadzaf. TabarakaLlah, begitu tunai, lepaslah tangannya. Sejak itulah muncul ungkapan, "La yufta wa Malik fil Madinah!" Tapi sungguh kita belajar jauh lebih banyak hal lagi dari kisah ini. Bahwa selain zina sebagai perbuatan, ada dosa tak kalah besar yang sering diremehkan yaitu Qadzaf, menuduh zina tanpa bukti & 4 saksi. Maka melanggar kehormatan sesama, menghina dosa yang diperbuatnya, & mengungkap aibnya adalah perbuatan yang seyogyanya dijauhi. Ini berlaku pada yang hidup maupun mati. Pada si hidup, menghina dosa kan membantu syaithan, memutus harapan dari ampunan Allah. Apalagi jika ia fitnah, kerusakan yang timbul jauh lebih besar lagi. Pada si mati, siapa kita hingga memasti dosa & menghakimi? 

Pada soal hukum, ini juga menegaskan hakikat bahwa melalui syari'atNya Allah bukan hendak menghukum & menyakiti hamba dengan had. Dengan menetapkan hukuman berat atas zina, dosa yang dampak merusaknya luas, Allah hanyalah hendak menjaga kemashlahatan manusia. Belum kita temukan dalam sejarah penegakan syari'at di masa RasuluLlah & para Khalifah pezina dihukum had karena delik aduan. Ini karena beratnya syarat, 4 saksi yang melihat bagaimana "benang memasuki lubang jarum". Yang pernah ada, tersebab pengakuan. Itupun hakim diperintah & diteladankan membuat syubhat untuk menghindari Had, "Barangkali cuma mencium", "Mungkin hanya memeluk".Selama Hakim membuat peraguan-peraguan itu pada pengaku zina yang bersangkutan berhak mencabut pengakuan. Had tak dijatuhkan. Kehormatan tertuduh juga dilindungi dengan Had Qadzaf, 80 kali dera tuk yang tak bisa hadirkan 4 saksi, walau sebetulnya benar. “La yufta wa Malik fil Madinah”, janganlah lahir fatwa sementara Imam Malik masih hidup di Madinah".

Dari Kisah ini kita belajar banyak. Imam Ahmad pun berkata, "Jika seorang menghina saudara muslimnya atas suatu dosa, takkan dia mati sebelum jatuh di nista serupa." Mari berhati-hati & berdoa, moga Allah jaga kita dari dosa zina maupun dosa menuduh zina. Amat besar kerusakan akibat keduanya. 

Tahun 2002-03 ramai hadir buku-buku pengungkap zina dengan detail-detail menjijikkan, undercover-lah, in the kost lah, & lainnya. Tapi yang dampak rusaknya tak kalah luas adalah 'survey & penelitian' yang menghebohkan, "97,5 % Mahasiswi Jogja tidak Perawan".eras saat itu kami menyebutnya "Qadzaf", karena andai yang tidak perawan itu 50% saja, si peneliti menuduh zina 47,5% yang lain. Dan ternyata memang si peneliti memang hanya mencari kehebohan, sama sekali tak menggunakan metodologi penelitian yang ilmiah. Dia tidak memperhitungkan dampak penelitiannya itu, berapa kampus swasta di Jogja, warung-warung makan, & kost-kostan yang tutup. Aptisi DIY & Ketua Kopertis saat itu, Prof. Dr. Sugiyanto, Apt. pernah berbincang dengan Wakil Walikota HM Syukri Fadholi. Pertanggungjawabkan-kah semua gulung tikar itu? Tentu tidak. Tapi yang tak kalah ngeri, saat seorang kawan di Aceh bercerita. Sejak "97,5 %" menyebar, banyak orangtua sadar agama dari daerah berlatar Islam kuat tak sudi mengirim putranya kuliah di Jogja. Lalu ke mana? Pokoknya ke selain Jogja. Dan? "Akhirnya rusak juga", kata beliau. Sampai akhirnya beliau mengunjungi Yogyakarta ke daerah berkampus, muncul pertanyaan pada kawan Aceh "Jadi, suasana berkebaikannya kondusif mana antara Jogja & kota-kota itu?" Masyarakat yang tinggal di Jogja tak hendak lena. Tentu di Jogja tetap ada keburukan-keburukan, tampak maupun tidak. Itu yang adil. Tetapi menuduh 97,5% itu memang betul-betul tak masuk akal & membawa kerusakan yang amat banyak. Semoga Allah ampuni beliau.

Purwokerto Kota Satria sebagai kota pelajar, hamper dari segala penjuru angin berbondong-bondong menimba ilmu di Perguruan Tinggi dari pilihan bijak untuk masa depan. UNSOED bagian pioneer Kota Purwokerto. Almamater kebanggaan Bangsa. Namun, stake holder berada didalam UNSOED tidak terlepas dari organisasi kerohanian, seni, minat bakat dan keprofesian. Sejatinya organisasi mahasiswa memberika kebaikan, munculnya issue muara pergerakan NII di UNSOED terdengar desus angin badai yang mengancam mahasiswa baru. Mahasiswa Baru??? Issue itu menimpa organisasi yang bergerak di bidang kerohanian. Hal ini seakan menampar bahkan meruntuhkan perjuangan anggota organisasi tersebut. Usut demi usut nyatanya para penggiat aliran sesat itu bermuara dari orang-orang yang tidak mengikuti organisasi mahasiswa, di buktikan paparan Intel Banyumas dalam kesempatan kajian gerakan NII. Kasus demi kasus terungkap bahwa gerakan ini seringkali di lakukan orang-orang yang secara akademik tidak stabial alias bermasalah di kampusnya bahkan ciri yang khas lebih banyak jarang bersosialisasi dengan kawan kampus. Mentoring adalah solusi untuk tameng bagi gerakan NII dan penguatan moral mahasiswa baru serta membentuk karakter berwawasan kebangsaan yang bagus sehingga terlahir pemimpin yang bermoral. Mentoring hanya didapat di kegiatan kerohaniaan tingkat universitas maupun fakultas. Namun, issue NII di UNSOED atau Perguruan Tinggi di kota lainnya masih di telan mentah-mentah, sehingga  orang tua melarang anak kesayangannya ikut organisasi mahasiswa, yang ada mereka di tuntut hanya memikirkan kuliah dan kuliah. Bisa jadi hal ini sama dengan kawan Aceh hanya saja ini berbeda kasus.

Maka sebagai penutup, saya ceritakan pada kawan Aceh itu salah satu hikayat Buya HAMKA. Alkisah, suatu hari seseorang berkata pada HAMKA, "Buya, kemarin saya ke Makkah. Eh ternyata ya Buya ya, ternyata di Makkah itu ada pelacur Buya! Gimana itu Buya?" Apa maksud Buya HAMKA? Ke manapun kita pergi, di manapun kita berada, diri kita yang sebenar tergambar dalam apa yang kita cari. Di San Fransisco tak ada pelacur, kalau TIDAK mencari. Di Makkah ada maksiat kalau itu yang DICARI. Semoga kita pencari kebaikan.


referensi: Ustadz Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar