Keterhijaban
prasangka yang baik seringkali terhambat sebuah lintasan pikiran yang negatif.
Acap kali imajinasi kita terbentuk dari apa yang akan kita cari bahkan tidak
terlepas jika menentukan sebuah pilihan dari apa yang ada di niat kita. Mari mengkaji
Manaqib para Aimmah, di antara yang paling berkesan hari ini adalah asal mula
ungkapan "La yufta wal Maliku fil Madinah." Dalam masa Atba'ut
Tabi'in ungkapan ini masyhur tersepakati, "Janganlah terlahir fatwa
padahal Imam Malik masih hidup di Madinah." Termula ia dari kejadian aneh,
kala seorang wanita yang dikenal sebagai pezina meninggal & perempuan ahli
rawat jenazah dipanggil. Perawat jenazah pun memandikan jasad wanita itu, tapi
dengan rasa geram di hati mengingat bahwa si mayyit masyhur sebagai pendosa.
Maka tatkala membasuh bagian kemaluan sang mayat, tak mampu lagi menahan gemas
hati, diapun memukulnya & menggerutukan serapah. "Duhai, sudah berapa
kali ini kaupakai mendurhakai Allah!", hardiknya. Ajaib, tangan yang
memukul itu melekat di kemaluan jenazah. SubhanaLlah, maka jadi ricuhlah
suasana pemulasaraan jenazah. Para 'alim & cendikia dihadirkan, ditanya
& dimintai jalan keluar. Ada yang mengusulkan potong saja tangan pengurus
jenazah. Ada yang berpendapat iris saja bagian tubuh mayyitnya. Semua tak elok.
Buntu semua pembahasan, tak memuaskan segala jawaban, maka merekapun membawa
perkara ini kepada Imam Daril Hijrah, Malik ibn Anas. Imam Malik menyatakan
sembari meleleh air mata, "Ma'adzaLlah, betapa beratnya dosa menuduh zina,
hingga Allah menetapkan hadNya." Allah turunkan hukum tentang dosa Qadzaf,
menuduh seorang wanita berzina tanpa dapat menghadirkan bukti & 4 saksi
dalam QS 24: 4.
Maka
Imam Malik memfatwakan agar pengurus jenazah yang tangannya melekat di kemaluan
mayat itu dikenai had Qadzaf, dera 80 kali. Sebab walau telah masyhur bahwa
jenazah yang dimandikan itu semasa hidupnya adalah pezina, tapi tiada 4 saksi
melihat langsung. Jadi ringkas kisah, si pengurus jenazah pun dicambuk 80 kali
sesuai had Qadzaf. TabarakaLlah, begitu tunai, lepaslah tangannya. Sejak itulah
muncul ungkapan, "La yufta wa Malik fil Madinah!" Tapi sungguh kita
belajar jauh lebih banyak hal lagi dari kisah ini. Bahwa selain zina sebagai
perbuatan, ada dosa tak kalah besar yang sering diremehkan yaitu Qadzaf, menuduh
zina tanpa bukti & 4 saksi. Maka melanggar kehormatan sesama, menghina dosa
yang diperbuatnya, & mengungkap aibnya adalah perbuatan yang seyogyanya
dijauhi. Ini berlaku pada yang hidup maupun mati. Pada si hidup, menghina dosa
kan membantu syaithan, memutus harapan dari ampunan Allah. Apalagi jika ia
fitnah, kerusakan yang timbul jauh lebih besar lagi. Pada si mati, siapa kita
hingga memasti dosa & menghakimi?
Pada
soal hukum, ini juga menegaskan hakikat bahwa melalui syari'atNya Allah bukan
hendak menghukum & menyakiti hamba dengan had. Dengan menetapkan hukuman
berat atas zina, dosa yang dampak merusaknya luas, Allah hanyalah hendak
menjaga kemashlahatan manusia. Belum kita temukan dalam sejarah penegakan
syari'at di masa RasuluLlah & para Khalifah pezina dihukum had karena delik
aduan. Ini karena beratnya syarat, 4 saksi yang melihat bagaimana "benang
memasuki lubang jarum". Yang pernah ada, tersebab pengakuan. Itupun hakim
diperintah & diteladankan membuat syubhat untuk menghindari Had,
"Barangkali cuma mencium", "Mungkin hanya memeluk".Selama
Hakim membuat peraguan-peraguan itu pada pengaku zina yang bersangkutan berhak
mencabut pengakuan. Had tak dijatuhkan. Kehormatan tertuduh juga dilindungi
dengan Had Qadzaf, 80 kali dera tuk yang tak bisa hadirkan 4 saksi, walau
sebetulnya benar. “La yufta wa Malik fil Madinah”, janganlah lahir fatwa
sementara Imam Malik masih hidup di Madinah".
Dari
Kisah ini kita belajar banyak. Imam Ahmad pun berkata, "Jika seorang
menghina saudara muslimnya atas suatu dosa, takkan dia mati sebelum jatuh di
nista serupa." Mari berhati-hati & berdoa, moga Allah jaga kita dari
dosa zina maupun dosa menuduh zina. Amat besar kerusakan akibat keduanya.
Tahun
2002-03 ramai hadir buku-buku pengungkap zina dengan detail-detail menjijikkan,
undercover-lah, in the kost lah, & lainnya. Tapi yang dampak rusaknya tak
kalah luas adalah 'survey & penelitian' yang menghebohkan, "97,5 %
Mahasiswi Jogja tidak Perawan".eras saat itu kami menyebutnya
"Qadzaf", karena andai yang tidak perawan itu 50% saja, si peneliti
menuduh zina 47,5% yang lain. Dan ternyata memang si peneliti memang hanya
mencari kehebohan, sama sekali tak menggunakan metodologi penelitian yang
ilmiah. Dia tidak memperhitungkan dampak penelitiannya itu, berapa kampus
swasta di Jogja, warung-warung makan, & kost-kostan yang tutup. Aptisi DIY
& Ketua Kopertis saat itu, Prof. Dr. Sugiyanto, Apt. pernah berbincang
dengan Wakil Walikota HM Syukri Fadholi. Pertanggungjawabkan-kah semua gulung
tikar itu? Tentu tidak. Tapi yang tak kalah ngeri, saat seorang kawan di Aceh
bercerita. Sejak "97,5 %" menyebar, banyak orangtua sadar agama dari
daerah berlatar Islam kuat tak sudi mengirim putranya kuliah di Jogja. Lalu ke
mana? Pokoknya ke selain Jogja. Dan? "Akhirnya rusak juga", kata
beliau. Sampai akhirnya beliau mengunjungi Yogyakarta ke daerah berkampus,
muncul pertanyaan pada kawan Aceh "Jadi, suasana berkebaikannya kondusif
mana antara Jogja & kota-kota itu?" Masyarakat yang tinggal di Jogja
tak hendak lena. Tentu di Jogja tetap ada keburukan-keburukan, tampak maupun
tidak. Itu yang adil. Tetapi menuduh 97,5% itu memang betul-betul tak masuk
akal & membawa kerusakan yang amat banyak. Semoga Allah ampuni beliau.
Purwokerto
Kota Satria sebagai kota pelajar, hamper dari segala penjuru angin
berbondong-bondong menimba ilmu di Perguruan Tinggi dari pilihan bijak untuk
masa depan. UNSOED bagian pioneer Kota Purwokerto. Almamater kebanggaan Bangsa.
Namun, stake holder berada didalam UNSOED tidak terlepas dari organisasi
kerohanian, seni, minat bakat dan keprofesian. Sejatinya organisasi mahasiswa
memberika kebaikan, munculnya issue muara pergerakan NII di UNSOED terdengar
desus angin badai yang mengancam mahasiswa baru. Mahasiswa Baru??? Issue itu
menimpa organisasi yang bergerak di bidang kerohanian. Hal ini seakan menampar
bahkan meruntuhkan perjuangan anggota organisasi tersebut. Usut demi usut
nyatanya para penggiat aliran sesat itu bermuara dari orang-orang yang tidak
mengikuti organisasi mahasiswa, di buktikan paparan Intel Banyumas dalam
kesempatan kajian gerakan NII. Kasus demi kasus terungkap bahwa gerakan ini
seringkali di lakukan orang-orang yang secara akademik tidak stabial alias
bermasalah di kampusnya bahkan ciri yang khas lebih banyak jarang
bersosialisasi dengan kawan kampus. Mentoring adalah solusi untuk tameng bagi
gerakan NII dan penguatan moral mahasiswa baru serta membentuk karakter
berwawasan kebangsaan yang bagus sehingga terlahir pemimpin yang bermoral.
Mentoring hanya didapat di kegiatan kerohaniaan tingkat universitas maupun
fakultas. Namun, issue NII di UNSOED atau Perguruan Tinggi di kota lainnya masih
di telan mentah-mentah, sehingga orang
tua melarang anak kesayangannya ikut organisasi mahasiswa, yang ada mereka di
tuntut hanya memikirkan kuliah dan kuliah. Bisa jadi hal ini sama dengan kawan
Aceh hanya saja ini berbeda kasus.
Maka
sebagai penutup, saya ceritakan pada kawan Aceh itu salah satu hikayat Buya
HAMKA. Alkisah, suatu hari seseorang berkata pada HAMKA, "Buya, kemarin
saya ke Makkah. Eh ternyata ya Buya ya, ternyata di Makkah itu ada pelacur
Buya! Gimana itu Buya?" Apa maksud Buya HAMKA? Ke manapun kita pergi, di
manapun kita berada, diri kita yang sebenar tergambar dalam apa yang kita cari.
Di San Fransisco tak ada pelacur, kalau TIDAK mencari. Di Makkah ada maksiat
kalau itu yang DICARI. Semoga kita pencari kebaikan.
referensi: Ustadz Salim A. Fillah
referensi: Ustadz Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar