Terrindukankah,
memakai Kalender Hijri dalam segala jua
soal jadwal penerbangan tanpa ikhtilaf Pesawat mendarat 1 Ramadhan menurut
siapa? Tarawih: istilah khusus yang digunakan tuk ibadah umum {Qiyamul
Lail} di bulan Ramadhan, tersebab banyak rehat karena panjangnya. Maka tak
termasalahkan malam ini kita ber-Qiyamul Lail meskipun meyakini Ramadhan jatuh
pada hari Sabtu, sebab keumuman sunnahnya. Bahwa tertata-carakan berjama'ah
& dilaksanakan di Masjid, ianya insya Allah tak masalah seterbaca sejarah
Tarawih, wallahu’alam. Berbeda dengan Pemerintah sudah terjadi sejak Ibn 'Abbas
di Makkah menyelisihi ru'yat Mu'awiyah di Syam. Hari ini yang lebih penting dari Jumat atau Sabtu
adalah mengilmui mengapa terjadi beda yang demikian lalu beramal sesuai ilmu teryakini. erbedaannya
mencakup banyak segi mendasar. Secara sederhana, pertama, apakah ta'rif HILAL
yang termaktub dalam QS 2: 189 & berbagai hadits?
Apakah
yang dimaksud HILAL adalah penampakan fisik bulan baru teramati, atau bulan
memasuki fasenya yang baru dengan ijtima' qablal ghurub? Muhammadiyah misalnya,
memaknai HILAL sebagai "bulan memasuki fase baru" dengan ijtima'
qablal ghurub (konjungsi sebelum mentari terbenam). Kita sulit menolak definisi
ini sebab, ketika bulan memasuki fase
edar barunya, jelas, ia sudah tak mungkin lagi dianggap "bulan lama".
Jadi bagi kekawan Muhammadiyah tak
peduli berapapun derajatnya, jika bulan telah memasuki fase edar baru, kita
memasuki bulan Hijriah baru. Hal yang lalu teristilahkan "Hisab WUJUDUL
HILAL" ini ditentang oleh para berilmu yang mendefinisikan Hilal:
'penampakan fisik bulan baru'. Bagi yang mendefinisikan Hilal sebagai
'penampakan fisik bulan baru' maka ada
standar IMKANUR RU'YAT: ketermungkinan kita melihat bulan. Nah, dalam IMKANUR RU'YAT,
akan ada perbedaan lagi, berapa derajatkah sehingga bulan memungkinkan dilihat?
Dengannya kesahihan ru'yat diuji. Beda derajat ini juga membawa soal lain.
betapa sebentarnya (hanya beberapa detik) Hilal muncul setelah ghurub, lalu
iapun terbenam juga.
Bagi
para berilmu yang mengambil definisi ini, istilah kekawan Muhammadiyah dianggap
tak tepat. Harusnya WUJUDUL QAMAR, bukan wujudul hilal. Kita masuk perbedaan
kedua, mutlakkah hadits "Shumuu liru'yatihi wa afthiruu liru'yatih..
Berpuasalah karena MELIHAT Hilal & beridul fitrilah kalian karena melihatnya"?
Bagi sebagian para berilmu, hadits ini jadi perintah tegas tuk MELIHAT secara
fisik Hilal dalam penentuan. Tetapi tidak menurut para berilmu lain, sebab kata
"Raa-a" bisa terartikan melihat dengan mata, bisa juga dengan ilmu,
yakni Hisab Falaki. ni sebagaimana ijma' pemahaman dalam hadits "Man raa-a
minkum munkaran, falyughayyirhu..", melihat kemunkaran bisa dengan mata
atau ilmu. Yang berpandangan harus melihat dengan mata, mengajukan Hujjah bahwa
secara 'amali, Nabi & para Khulafaur Rasyidin memerintahkan Ru'yat.
Bukankah
sunnah mereka lebih layak diikuti? Lalu yang menyatakan "melihat"
bisa dengan ilmu mengajukan hadits tentang kedaruratan masa itu. Hadistnya:
"Nahnu qaumun ummiyun.. Kami adalah kaum yang ummi, kami tidak bisa
membaca, tidak bisa menulis, dan tidak bisa melakukan hisab Bulan itu adalah
demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan
kadang-kadang tiga puluh hari." {Muttafaq 'alaih}. Maka kata para berilmu
{al. Rasyid Ridha & Mustafa Az Zarqa}, perintah melakukan rukyat fisik
ialah perintah ber-'illat (bersebab tertentu).
Dalam
kaidah fiqh hukum hadir & meniada
berdasar wujudnya 'illat. Dalam soal ru'yat Hilal secara fisik, 'illatnya
adalah ke-ummi-an ummat. Maka menurut para beliau, perintah melihat Hilal
secara fisik itu WAJIB ketika ummat belum faham Hisab. Kewajiban itu gugur jika
sudah bisa. Kita masuk perbedaan lain di kalangan yang sama-sama mengharuskan
Ru'yat secara fisik, bolehkah pakai alat bantu, atau harus mata telanjang? Agak
mengganggu memang, tapi inipun terbahas. Bahwa Nabi TIDAK memakai teropong
& lainnya. Tapi bahwa atmosfer zaman kita banyak polusinya. Perbedaan
berikutnya, apakah kesaksian seorang yang mau disumpah dapat langsung diterima?
Bukankah Nabi dahulu menerima tanpa penguji lain? Tapi hari ini para pemutlak
Ru'yat bisa menolak kesaksian Ru'yat seseorang yang telah bersumpah, uniknya
berdalil Hisab "Kurang 2
Derajat!"
Maka
para berilmu lain -dengan agak tersenyum- mengakui bahwa sebenarnya Hisab
Falaki bagi Ru'yat adalah pasangan yang tak bisa diabaikan. Untuk tepat
me-Ru'yat, kita harus tahu koordinat terkirakan di mana Hilal akan muncul,
berapa derajat sudutnya, berapa jarak mentari sehingga bias senja tak
mengganggu, berapa lama waktu Hilal tertampak di ufuk, antara jam berapa hingga
berapa. Semua data itu dari Hisab!
Indonesia
punya masalah lain berbeda dengan negara
Arab yang memakai dataran gurun sebagai tempat pengamatan Hilal kita pakai tepi pantai. Saat mentari terbenam,
uap air di atas lautan masih akan membiaskan cahaya matahari untuk beberapa
waktu. Dengan itu, bahkan Hilal yang elah wujud & seharusnya tampak di ufuk
sekitar 0-3 menit kemungkinan besar akan dikaburkan oleh pembiasan tersebut.
Beda dengan di gurun. Masuk ke perbedaan selanjutnya di kalangan yang sama-sama
ber-Ru'yat: apakah 1 ru'yat berlaku global seluruh dunia Islam, atau lokal
saja? Sebagian menyatakan, 1 ru'yat berlaku global. Yang lain, konsekuensi dari
perbedaan waktu, mathla' berbeda, terbit Hilal beda, Ru'yat lokal.
Pada
zaman Nabi, kemutlakan Ru'yat untuk keseluruhan ummat memungkinkan jumlah ummat
belum sebanyak sekarang & mathla'nya sedaerah waktu. Tapi bahkan di masa
Mu'awiyah, Ibn 'Abbas di Hijjaz menginisiasi Ru'yat mandiri bersama Amir yang
hasilnya berbeda dengan pusat di Damaskus. Ketika pembawa pesan dari ibukota
datang, lalu menanyakan "Tak cukupkah bagi kalian ru'yatnya
Mu'awiyah?" Ibnu 'Abbas menegaskan ijtihadnya. asuk perbedaan berikutnya;
pemahaman terhadap "Amrul Imam/hukmul Hakim yarfa'ul khilaf". Apakah
Pemerintah RI layak termasuk Imam & Hakim? Apakah ia memenuhi syarat
sehingga wajib ditaati itsbatnya? Dan apakah terharus, padahal Amirul Mukminin
Mu'awiyah saja tidak diikuti semua? Bagi ru'yat lokal, apakah ia berlaku
keseluruhan padahal kita punya 3 daerah waktu hingga Hilal di Sabang amat lebih
tua dibanding Jayapura?
Sumber: Ustadz. Salim A. Fillah
Sumber: Ustadz. Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar