Jumat, 20 Juli 2012

Mencari Hilal yang Hilang


Terrindukankah, memakai Kalender Hijri dalam segala  jua soal jadwal penerbangan tanpa ikhtilaf Pesawat mendarat 1 Ramadhan menurut siapa? Tarawih: istilah khusus yang digunakan tuk ibadah umum {Qiyamul Lail} di bulan Ramadhan, tersebab banyak rehat karena panjangnya. Maka tak termasalahkan malam ini kita ber-Qiyamul Lail meskipun meyakini Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, sebab keumuman sunnahnya. Bahwa tertata-carakan berjama'ah & dilaksanakan di Masjid, ianya insya Allah tak masalah seterbaca sejarah Tarawih, wallahu’alam. Berbeda dengan Pemerintah sudah terjadi sejak Ibn 'Abbas di Makkah menyelisihi ru'yat Mu'awiyah di Syam. Hari ini  yang lebih penting dari Jumat atau Sabtu adalah mengilmui mengapa terjadi beda yang demikian  lalu beramal sesuai ilmu teryakini. erbedaannya mencakup banyak segi mendasar. Secara sederhana, pertama, apakah ta'rif HILAL yang termaktub dalam QS 2: 189 & berbagai hadits?


Apakah yang dimaksud HILAL adalah penampakan fisik bulan baru teramati, atau bulan memasuki fasenya yang baru dengan ijtima' qablal ghurub? Muhammadiyah misalnya, memaknai HILAL sebagai "bulan memasuki fase baru" dengan ijtima' qablal ghurub (konjungsi sebelum mentari terbenam). Kita sulit menolak definisi ini  sebab, ketika bulan memasuki fase edar barunya, jelas, ia sudah tak mungkin lagi dianggap "bulan lama". Jadi bagi kekawan Muhammadiyah  tak peduli berapapun derajatnya, jika bulan telah memasuki fase edar baru, kita memasuki bulan Hijriah baru. Hal yang lalu teristilahkan "Hisab WUJUDUL HILAL" ini ditentang oleh para berilmu yang mendefinisikan Hilal: 'penampakan fisik bulan baru'. Bagi yang mendefinisikan Hilal sebagai 'penampakan fisik bulan baru'  maka ada standar IMKANUR RU'YAT: ketermungkinan kita melihat bulan. Nah, dalam IMKANUR RU'YAT, akan ada perbedaan lagi, berapa derajatkah sehingga bulan memungkinkan dilihat? Dengannya kesahihan ru'yat diuji. Beda derajat ini juga membawa soal lain. betapa sebentarnya (hanya beberapa detik) Hilal muncul setelah ghurub, lalu iapun terbenam juga.

 Bagi para berilmu yang mengambil definisi ini, istilah kekawan Muhammadiyah dianggap tak tepat. Harusnya WUJUDUL QAMAR, bukan wujudul hilal. Kita masuk perbedaan kedua, mutlakkah hadits "Shumuu liru'yatihi wa afthiruu liru'yatih.. Berpuasalah karena MELIHAT Hilal & beridul fitrilah kalian karena melihatnya"? Bagi sebagian para berilmu, hadits ini jadi perintah tegas tuk MELIHAT secara fisik Hilal dalam penentuan. Tetapi tidak menurut para berilmu lain, sebab kata "Raa-a" bisa terartikan melihat dengan mata, bisa juga dengan ilmu, yakni Hisab Falaki. ni sebagaimana ijma' pemahaman dalam hadits "Man raa-a minkum munkaran, falyughayyirhu..", melihat kemunkaran bisa dengan mata atau ilmu. Yang berpandangan harus melihat dengan mata, mengajukan Hujjah bahwa secara 'amali, Nabi & para Khulafaur Rasyidin memerintahkan Ru'yat.

Bukankah sunnah mereka lebih layak diikuti? Lalu yang menyatakan "melihat" bisa dengan ilmu mengajukan hadits tentang kedaruratan masa itu. Hadistnya: "Nahnu qaumun ummiyun.. Kami adalah kaum yang ummi, kami tidak bisa membaca, tidak bisa menulis, dan tidak bisa melakukan hisab Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari." {Muttafaq 'alaih}. Maka kata para berilmu {al. Rasyid Ridha & Mustafa Az Zarqa}, perintah melakukan rukyat fisik ialah perintah ber-'illat (bersebab tertentu). 

Dalam kaidah fiqh  hukum hadir & meniada berdasar wujudnya 'illat. Dalam soal ru'yat Hilal secara fisik, 'illatnya adalah ke-ummi-an ummat. Maka menurut para beliau, perintah melihat Hilal secara fisik itu WAJIB ketika ummat belum faham Hisab. Kewajiban itu gugur jika sudah bisa. Kita masuk perbedaan lain di kalangan yang sama-sama mengharuskan Ru'yat secara fisik, bolehkah pakai alat bantu, atau harus mata telanjang? Agak mengganggu memang, tapi inipun terbahas. Bahwa Nabi TIDAK memakai teropong & lainnya. Tapi bahwa atmosfer zaman kita banyak polusinya. Perbedaan berikutnya, apakah kesaksian seorang yang mau disumpah dapat langsung diterima? Bukankah Nabi dahulu menerima tanpa penguji lain? Tapi hari ini para pemutlak Ru'yat bisa menolak kesaksian Ru'yat seseorang yang telah bersumpah, uniknya berdalil Hisab  "Kurang 2 Derajat!"

Maka para berilmu lain -dengan agak tersenyum- mengakui bahwa sebenarnya Hisab Falaki bagi Ru'yat adalah pasangan yang tak bisa diabaikan. Untuk tepat me-Ru'yat, kita harus tahu koordinat terkirakan di mana Hilal akan muncul, berapa derajat sudutnya, berapa jarak mentari sehingga bias senja tak mengganggu, berapa lama waktu Hilal tertampak di ufuk, antara jam berapa hingga berapa. Semua data itu dari Hisab!

Indonesia punya masalah lain  berbeda dengan negara Arab yang memakai dataran gurun sebagai tempat pengamatan Hilal  kita pakai tepi pantai. Saat mentari terbenam, uap air di atas lautan masih akan membiaskan cahaya matahari untuk beberapa waktu. Dengan itu, bahkan Hilal yang elah wujud & seharusnya tampak di ufuk sekitar 0-3 menit kemungkinan besar akan dikaburkan oleh pembiasan tersebut. Beda dengan di gurun. Masuk ke perbedaan selanjutnya di kalangan yang sama-sama ber-Ru'yat: apakah 1 ru'yat berlaku global seluruh dunia Islam, atau lokal saja? Sebagian menyatakan, 1 ru'yat berlaku global. Yang lain, konsekuensi dari perbedaan waktu, mathla' berbeda, terbit Hilal beda, Ru'yat lokal.

Pada zaman Nabi, kemutlakan Ru'yat untuk keseluruhan ummat memungkinkan jumlah ummat belum sebanyak sekarang & mathla'nya sedaerah waktu. Tapi bahkan di masa Mu'awiyah, Ibn 'Abbas di Hijjaz menginisiasi Ru'yat mandiri bersama Amir yang hasilnya berbeda dengan pusat di Damaskus. Ketika pembawa pesan dari ibukota datang, lalu menanyakan "Tak cukupkah bagi kalian ru'yatnya Mu'awiyah?" Ibnu 'Abbas menegaskan ijtihadnya. asuk perbedaan berikutnya; pemahaman terhadap "Amrul Imam/hukmul Hakim yarfa'ul khilaf". Apakah Pemerintah RI layak termasuk Imam & Hakim? Apakah ia memenuhi syarat sehingga wajib ditaati itsbatnya? Dan apakah terharus, padahal Amirul Mukminin Mu'awiyah saja tidak diikuti semua? Bagi ru'yat lokal, apakah ia berlaku keseluruhan padahal kita punya 3 daerah waktu hingga Hilal di Sabang amat lebih tua dibanding Jayapura?

Sumber: Ustadz. Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar